Lihat ke Halaman Asli

Kebaikan Berawal dari Rumah

Diperbarui: 6 November 2017   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu saya melihat status facebook seorang sahabat menyatakan, betapa beruntungnya dia karena keluarga selalu menjadi pendukung yang terbaik.  Tak pernah lelah dan tak pernah sangsi dalam mendampinginya menghadapi 'dunia'.  Oh sahabat, layaklah anda bersyukur... Terkadang kita berpikir bahwa sebuah keluarga adalah sebuah naungan yang aman dan damai, tempat semua keluh bermuara dan kelelahan terabaikan, demi sebuah peluk hangat dan senyum manis yang abadi.  Tetapi sayangnya, tidak selalu demikian. 

Sebut saja seorang gadis usia dua puluhan bernama Yulia.  Yulia datang dari keluarga biasa, anak pertama dari dua bersaudara.  Ketika iseng berbincang-bincang tentang hal terburuk apa yang pernah kami dengar saat tumbuh besar, terutama hal-hal yang fisik, saya dengan ringan mengatakan, "Ih, dulu aku benci sekali karena aku pendek.  Apalagi kan aku senang ikut pramuka, eh, gara-gara kurang tinggi aku jadi nggak bisa ikut seleksi jambore nasional deh, huhu...". Dengan hampir sama ringannya Yulia berkata, "Kalau aku sih karena aku jelek." 

Dhuag! Sebuah kata sederhana yang menohok saya telak di dada.

 Jelek. "Hah, kok bisa?  Emangnya ada yang pernah bilang gitu?" 

"Ada. Ibuku aja bilang begitu."

 Saya kehilangan kata-kata. Saya lebih kehilangan kata-kata, bahkan untuk mendesah dalam hati saja, ketika saya menyadari, bahwa sepanjang saya tumbuh besar bersamanya, 'kesaksiannya' itu benar adanya.  Ibunya mengatakan bahwa dia jelek.  Benar. Bahkan sampai saat ini.  Pada seorang gadis usia dua puluhan. 

Yulia, gadis Jawa berkulit hitam manis yang menyukai warna merah. "Orang kulitnya kusem kok suka warna ngejreng, jelek,' kata ibunya. 

Yulia, gadis Jawa berkulit hitam manis penyuka warna merah dengan berat badan yang terkadang kurang ideal, "Mbrot, makanya kalau makan itu lihat-lihat," kata ibunya. 

Yulia, gadis Jawa berkulit hitam manis penyuka warna merah berberat badan kurang ideal yang kuliah sambil bekerja,"Ndut, lha mbok kamu itu begini, lulus dari dulu-dulu.  Ngapain kamu pakai kerja segala, kamu kan nggak mampu, wong kamu itu sebenarnya dhedhel (Bahasa Jawa yang kurang lebih artinya 'lamban berpikir')," kata ibunya ketika menyerahkan uang pendaftaran wisuda. 

Yulia, gadis Jawa berkulit hitam manis penyuka warna merah berberat badan kurang ideal yang bekerja sambil kuliah dan banyak disukai lelaki, "Yul, kalau pakai baju jangan ketat-ketat, badanmu ke mana-mana, pantas saja banyak cowok ke sini," kata ibunya. 

Yulia, untuk siapa saya memastikan menyempatkan membeli barang-barang berwarna merah marun (shade warna merah yang terlihat paling cantik di kulitnya), menyuruhnya jangan lupa makan nasi kalau dia berniat diet yang nggak-nggak, mengoreksi draft skripsinya dan mengiriminya ide-ide baru untuk mengajar Bahasa Inggris untuk anak SD, mengiriminya tips berbusana lewat e-mail, dan terus terus terus berkata, "You go, Girl!" 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline