Puisi : Edy Priyatna
Nestapa bukan untuk nagariku. Tapi untuk kerut muka dan bau badannya. Karena di dalam istana kampung halamanku. Aroma wangi saling beradu. Bersipang jalan berbeda rasa. Pelbagai pewangi kerap di promosi.
Teratur hujan nan jatuh menggenang di pelataran. Bau keringat jadi wangi bunga kasturi. Debu sirna menyisakan aroma tanah basah. Pada jendela kaca aku menatap sepasang. Kupu-kupu berlarian mengejar mimpi. Di sana engkau merindu nyanyian hujan kepagian.
Namun tanah airku semakin tergadai. Menjadi rebutan dalam bursa kuasa. Pengarah lalu jadi boneka wayang. Dekorasi pajangan etalase kapitalis. Setelah musibah datang melanda. Malah berpikir menjanjikan lahan investasi.
Adalah kita tidak berada pada garis sama. Terai sedihku bukan untuk kandangku. Orang besar berdasi telah tak pernah peduli. Padahal lingkungan selalu bersih. Sejak usia muda hingga beranjak menua. Tukang sampah tetap tidak berubah.
(Pondok Petir, 30 Maret 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H