Lihat ke Halaman Asli

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Lingkungan yang Humanis (Epifanius Solanta)

Diperbarui: 21 Juni 2016   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengantar

Eksistensi manusia sebagai makhluk yang rasional tidak dapat dilepaspisahkan dari keberadaannya dengan lingkungan hidup. Ibarat dua sisi mata uang yang selalu bersama, demikian juga halnya antara manusia dengan lingkungan. Bahkan manusia sendiri harus mengakui bahwa tanah tempat ia berpijak merupakan bentuk lingkungan yang paling nyata. Mengingat pentingnya arti keberadaan lingkungan dalam keberlangsungan hidup manusia, maka lingkungan harus selalu dijaga dan dirawat sehingga terus memberikan kepuasan bagi manusia.

Lingkungan harus disejajarkan dengan keberadaan manusia. Oleh karena ia (baca: lingkungan) memiliki kedudukan yang sejajar dengan manusia, maka merusak lingkungan sama halnya dengan merusak manusia itu sendiri. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Jonathan Bate bahwa after all, if we destroy the earth we will destroy ourselvesyang artinya di atas semua itu, jika kita hancurkan bumi atau lingkungan berarti kita hancurkan diri kita sendiri. Kiranya ungkapan ini menjadi penegasan utama dan pertama yang harus dipahami oleh manusia dalam relasinya dengan lingkungan.

Dalam perkembangannya terutama ketika ilmu pengetahuan dan teknologi cukup leluasa menguasai kehidupan manusia, maka dominasi terhadap lingkungan pun semakin besar. Terjadinya kerusakan lingkungan merupakan bukti nyata dari kekuatan teknologi yang salah digunakan terutama oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai kaum kapitalis. Kapitalisme telah mengakibatkan krisis yang besar antara lain kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan dan ketidakpastian global (Galus, 2016: 61). Selain itu, perkembangan industrialisasi yang semakin pesat menjadi sebuah metanarasi dalam memakhlumkan alam sebagai obyek yang harus diolah dan diambil hasilnya.

Namun di sini perlu ditegaskan juga bahwa krisis lingkungan merupakan akibat dari krisis moral dan spiritual manusia, karena itu krisis lingkungan mencakup pula krisis pandangan hidup manusia (Sardar, 1985: 218). Hans Kung menilai bahwa kehancuran alam yang terjadi pada era milenium merupakan bukti nyata dari krisis etika yang merupakan dampak paling besar dari modernitas[1]. Dominasi nalar antroposentrisme dalam sejarah pemikiran manusia (modern) yang cenderung mengagungkan eksistensi manusia karena rasionalitasnya berdampak pada subordnasi terhadap eksistensi yang lain yang tidak rasional seperti alam dan ekosistemnya.

Krisis lingkungan yang cukup meresahkan publik dewasa ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Dimana dominasi ajaran agama, mitologi dan tradisi perlahan mendapat tekanan dan gempuran yang luar biasa pada abad ke-18. Pada abad ke-18 (puncak zaman aufklarung), kesadaran akan otonomi manusia di hadapan alam semesta muncul di bawah semboyan Sapere Aude(berpikirlah sendiri). Tokoh filosofis yang cukup terkenal pada masa itu yakni Rene Descartes dengan amat lantang menyuarakan semboyan Cogito Ergo Sum. Interpretasi terhadap ungkapan Descartes ini antara lain manusia merupakan “aku” sebagai subyek yang menghadapi alam lahiriah yang dibedakan dengan alam batiniah dan bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan merupakan produk pemikiran mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu[2].

Adanya dominasi pemikiran modern manusia yang selalu mendasarkan diri pada rasionalitasnya berimplikasi pada bergesernya ajaran-ajaran yang berupa wahyu, tradisi, ajaran agama dan mitologi. Hemat penulis, ini merupakan awal beroperasinya bentuk kekuasaan (hegemonisasi) terhadap sistem kearifan lokal sebagai salah satu cara dalam upaya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dimana konsep kearifan lokal itu sendiri termanifestasi dalam wujud seperangkat aturan, pengetahuan dan juga ketrampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Sayangnya perkembangan zaman dan kemajuan peradaban umat manusia menyebabkan terjadinya proses penghancuran kearifan lokal melalui perubahan tatanan sosial, kurangnya nilai humanis, kemiskinan moral, berkurangnya kemandirian masyarakat dan terdegradasinya sumber daya alam dan lingkungan yang merupakan faktor pendukung kehidupan manusia.

Menuju Lingkungan Yang Humanis

Kondisi lingkungan yang kian tak menentu di tengah arus globalisasi saat ini menuntut kita untuk terus memperbaikinya. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab moral terhadap lingkungan yang sudah sejak awal dipandang sebagai mitra hidup. Karena bagaimana pun juga kehancuran lingkungan akan berimplikasi pada kehancuran manusia sendiri. Oleh karena itu, di tengah situasi yang kian pelik, tatkala banyak orang mulai pesimis dengan lingkungan alam Indonesia saat ini, penulis ingin membangkitkan nalar optimis untuk membentuk lingkungan yang humanis.

Lingkungan yang humanis merupakan hasil dari keberpihakan manusia yang memandang lingkungan sebagai manusia. Tokoh-tokoh seperti Maslow dan Carl Rogers dengan lugas menguraikan tentang pendekatan humanistik yang menekankan pada martabat kemanusiaan pada individu yang berbeda dengan hewan makhluk lainnya. Menurut pendekatan ini manusia sudah sejak awalnya mempunyai dorongan untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia di lingkungannya. Oleh karena itu, setiap individu harus bertanggung jawab terhadap lingkungan tempat tinggalnya. (Mulyana, 1). Eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam merupakan bentuk “dehumanisasi”. Lingkungan yang humanis merupakan lingkungan yang ramah, selalu menempatkan unsur kemanusiaan di dalamnya, semangat solidaritas dan soliditas demi mewujudkan keuntungan bersama bukan keuntungan sekelompok atau segelintir orang saja.

Perwujudan lingkungan yang humanis tidak terlepas dari pola etika, moral dan tanggung jawab manusia. Dimana rasionalitas manusia tidak lagi dimaknai secara keliru yang dengan leluasa mengungguli makhluk hidup yang lain. Rasionalitas manusia yang termanifestasi lewat produksi alat teknologi idealnya bukan sebagai sarana untuk menghancurkan alam, melainkan untuk meningkatkan semangat penyelamatan lingkungan. Tentu saja terwujudnya lingkungan yang humanis harus didukung oleh semua stakeholdermulai dari pemerintah sampai dengan masyarakat akar rumput. Pemerintah melalui pembuatan kebijakan harus bisa mengakomodir seluruh rakyat, menekan ego dan menutup diri terhadap iming-iming dan rayuan palsu dari para kapitalis atau pengusaha. Dengan melibatkan seluruh elemen negara, maka kita sedang menuju ke dalam pembentukan lingkungan yang humanis. Selain itu juga perlu penegasan dalam melaksanakan aturan dan memberikan hukuman secara adil tanpa ada berat sebelah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline