Lihat ke Halaman Asli

Derita Lingkungan dalam Cengkeraman Nalar Antroposentrisme

Diperbarui: 9 Juni 2016   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Eksistensi manusia sebagai makhluk yang rasional tidak dapat dilepaspisahkan dari keberadaannya dengan lingkungan hidup. Ibarat dua sisi mata uang yang selalu bersama, demikian juga halnya antara manusia dengan lingkungan. Bahkan manusia sendiri harus mengakui bahwa tanah tempat ia berpijak merupakan bentuk lingkungan yang paling nyata.

 Mengingat pentingnya arti keberadaan lingkungan dalam keberlangsungan hidup manusia, maka lingkungan harus selalu dijaga dan dirawat sehingga terus memberikan kepuasan bagi manusia. Lingkungan harus disejajarkan dengan keberadaan manusia. Oleh karena ia (baca: lingkungan) memiliki kedudukan yang sejajar dengan manusia, maka merusak lingkungan sama halnya dengan merusak manusia itu sendiri. 

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Jonathan Bate bahwa after all, if we destroy the earth we will destroy ourselvesyang artinya di atas semua itu, jika kita hancurkan bumi atau lingkungan berarti kita hancurkan diri kita sendiri. Kiranya ungkapan ini menjadi penegasan utama dan pertama yang harus dipahami oleh manusia dalam relasinya dengan lingkungan.

Krisis lingkungan yang cukup meresahkan publik dewasa ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Dimana dominasi ajaran agama, mitologi dan tradisi perlahan mendapat tekanan dan gempuran yang luar biasa pada abad ke-18. Pada abad ke-18 (puncak zaman aufklarung), kesadaran akan otonomi manusia di hadapan alam semesta muncul di bawah semboyan Sapere Aude(berpikirlah sendiri). Tokoh filosofis yang cukup terkenal pada masa itu yakni Rene Descartes dengan amat lantang menyuarakan semboyan Cogito Ergo Sum. I

nterpretasi terhadap ungkapan Descartes ini antara lain manusia merupakan “aku” sebagai subyek yang menghadapi alam lahiriah yang dibedakan dengan alam batiniah dan bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan merupakan produk pemikiran mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan Sumber Daya Alam. Idealnya kekayaan alam tersebut menjadi kekuatan utama dalam menggerakan perekonomian Indonesia yang selanjutnya berdampak pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam kenyataannya banyak rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada bulan Maret 2015 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22%), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang berjumlah sebesar 27,73 juta orang (10,96%). 

Adapun cakupan penyebaran penduduk miskin di Indonesia selama kurun waktu September 2014-Maret 2015 antara lain penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 8,16%, naik menjadi 8,29% pada Maret 2015. Sementara presentase penduduk miskin di daerah pedesaan naik dari 13,76% pada September 2014 menjadi 14,2% pada Maret 2015 (http://bps.go.id/brs/view/1158). Prosentase kemiskinan yang terus meningkat setiap tahun, melahirkan pertanyaan dalam diri penulis dikemanakan sumber daya alam Indonesia yang melimpah?

Menurut Marcuse melalui buku One Dimensional Man, dominasi terhadap alam terkait dengan dominasi sesama manusia. Ini terjadi karena manusia dan alam dilihat sebagai komo-ditas dan nilai tukar semata sehingga dehumanisasi menjadi tak terhindarkan dan begitu pula eksploitasi terhadap alam.  

Kerusakan lingkungan hidup justru akan memenjarakan kehidupan manusia sendiri. Fritjof  Capra dalam Thamrin menulis: “untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia nyata dan semua bentuk kehidupan manusia di planet ini”. pernyataan Capra bisa diurai maknanya kepada realitas nyata bahwa ancaman itu begitu dekat dengan manusia melalui pencemaran udara yang mengancam kesehatan paru-paru, polusi air yang memicu penyakit, penggundulan hutan yang mengalami banjir dan tanah longsor, teknologisasi dan industrialisasi yang memicu pemanasan global (Thamrin, 2013: 48). 

Hal ini terjadi juga karena aktor-aktor lain, seperti negara, pengusaha, ataupun perusahaan multinasional, memiliki kekuatan politik yang lebih besar dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam. Pandangan antroposentrisme menjadi landasan filosofis yang cukup meyakinkan manusia untuk menguasai alam. Padahal ini merupakan bentuk paradigma yang justru merugikan lingkungan jika tidak didasari pada nalar yang logis.

Momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 5 Juni harus dimaknai sebagai momentum penting terutama dalam merefleksikan kembali cara berpikir dan berperilaku kita terhadap alam. Sudah sejatinya kita memandang alam sebagai bagian penting dari kehidupan kita. Paham antroposentrisme perlu dimaknai secara lebih mendalam lagi. Paham antroposentrisme bukan semata-mata ditafsirkan secara normatif sehingga alam kemudian dilihat sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Kiranya kita merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini dengan mengembalikan format orisinalitas alam sebagai sesuatu yang hakiki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline