Lihat ke Halaman Asli

Media Tak Lagi Netral // Oleh M. Arief Rahman // Banda Aceh

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Media tak Lagi Netral

Banda Aceh, 5 April 2014

Bak boneka, mereka menurut. Meski sadar melakukan pelanggaran terhadap etika profesi, toh mereka tak peduli. Rasa takut menghadapi ‘beban’ hidup yang semakin berat, membuat mereka, mengutip puisi Fadli Zon yang ‘heboh’ di sebuah media TV, mereka tak lebih seperti Boneka yang mengabdi pada sang tuan dan bisa dibuang kapan saja. “Sebuah boneka tak punya agenda kecuali kemauan pemiliknya”.

Oleh M. Arief Rahman

Wartawan Utama

Praktisi Media di Banda Aceh

Menyimak tayangan talk show di sejumlah televisi swasta nasional, sungguh lucu dan menggelikan. Pasalnya, para Capres atau Parpol yang tidak memiliki media massa, kerap menjadi bulan-bulanan oleh pengelola media yang jelas terlihat mengusung kepentingan para user yang kebetulan pula menjadi petinggi Parpol bahkan sebagai Capres. Tak ada satupun kegiatan mereka yang ‘baik’. Semua dianggap salah dan pantas untuk dibicarakan–meski dipaksakan—secara ‘nasional’.

Pembahasan di media massa massa audio visual belakangan ini semua memang pada urusan pemilihan umum, baik Caleg maupun Capres. Namun amat disayangkan, tak lagi mengarah pada program, visi-misi dan apa yang akan dilakukan untuk kemajuan bangsa. Mereka tak lagi membahas “Bagaimana membawa perubahan bagi kebaikan bangsa?” atau “Apa solusi yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dan meminimalisir berbagai gejolak yang muncul belakangan ini?”

Yang muncul, baik dalam pemberitaan maupun program dialog, selalu mencari kesalahan Caleg dan Parpol lain, kesalahan Capres dan Cawapres. Intinya, masing-masing media pengusung kepentingan para usernya ini berlomba menyiarkan program pencitraan. Tak peduli, meski harus menohok para pesaingnya.

Yang teraktual, dialog di sebuah televisi swasta nasional. Bahkan hingga dua program dengan topik bahasan yang sama, “Berbalas Puisi”.

Sebenarnya acara tersebut menarik untuk dicermati. Pasalnya, para politikus sudah mulai menyukai seni, yang notabene penawar dan penyejuk hati. Dengan seni, kita bisa menikmati hidup dengan damai. Bisa menghargai sesama, bisa melupakan ‘pertengkaran’ politik yang selama ini mengelilingi keseharian mereka.

Tapi yang membuat kesal dan gerah, pembahasan justru mengarah pada saling hujat antar dua kubu yang coba mengekpresikan pandangan mereka terhadap kondisi kekinian dunia politik Indonesia melalui puisi. Bukan topik yang menarik sebenarnya untuk dibahas, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan negara.

Namun mengapa produser program TV tersebut merasa topik tersebut menarik untuk dibahas?

Jawabannya hanya satu. “Kedua tokoh penulis puisi tersebut, elit dari dua Parpol berbeda yang merupakan parpol saingan sang user pemilik media tersebut. Terlebih lagi, tokoh yang digambarkan dalam kedua puisi tersebut saingan berat sang user untuk menjadi Presiden RI 2014-2019.

Sedih memang. Sebagai rakyat Indonesia yang kebetulan berprofesi sebagai jurnalis, terasa ada pengkhianatan terhadap Kode Etik Jurnalistik, di mana wartawan harus bersikap netral. Netralitas, bagi mereka, para elit Parpol dan Capres ini, hanya sebatas slogan. Semua harus berjalan sesuai apa yang mereka inginkan, “Utamakan Kepentingan User”.

Sangat disayangkan ketika para jurnalis yang bekerja di media sarat kepentingan itu, tidak berani berbuat apa-apa. Beratnya hidup dan sulitnya mencari pekerjaan baru ‘memaksa’ mereka untuk mengikuti apa yang sudah dititahkan sang raja. Sebagian memang terpaksa, tapi sebagian terlihat begitu enjoy menjalani tugas tambahan tersebut.

Tak satu media yang melakukan hal ini. Di Indonesia, cukup banyak media yang pemilik modalnya berkecimpung di politik praktis. Jadi, jangan heran jika kampanye partai sang pemilik modal disiar yang baik dan santun, sementara partai lain dicari salahnya untuk disiarkan. Partai lain direkam saat bagi-bagi uang atau sembako, partai sendiri yang melakukan hal sama dianggap tak ada.

Ironis memang. Terutama bagi rekan-rekan jurnalis di media ‘kepentingan’ ini.

Boneka tak bisa bersuara kecuali satu dua kata

Boneka tak ada kata jujur, percaya dan setia

Boneka mengabdi pada sang tuan siang dan malam

Boneka bisa dibuang kapan saja

Sebuah boneka tak punya agenda kecuali kemauan pemiliknya *

Banda Aceh, 5 April 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline