Rut sedang menangis. Air tangisannya pecah di bibir bantal milik suaminya. Tangisan ini suara yang terlambat bercakap. Yang mau maki tapi disekap uang, kuasa, dan amarah. Rut menangis, terisak dingin, mau meratap namun tersumbat tembok-tembok mewah rumah suaminya. Pagi ini, Rut nangis. Ah, bukan hanya pagi ini.
Samson selalu pulang sore hari. Pulang dengan senyum menjumput manja, disambut hangat istrinya. Samson itu tersenyum ketika telah pulang kerja. Rut meski paginya digigit isak tangis pun tahu harus membalas senyuman itu. Penuh makna memang. Senyuman yang entah lahir atas dasar apa. Apakah karena sering menerima amlop merah atau hanya pajangan kehangatan untuk yang dicintai. Mungkin karena Samson itu lebih banyak sidangnya hingga butuh refresing. Bicara soal refresing alias penyegaran, Rut tahu Samson punya mau-mau. Hidangan tubuh di atas ranjang percintaan. “ Aku bukan anjing piaraanmu, Son”, kadang ia larut dalam gerutu karena sering digituin oleh Samson. Namun, Rut tetaplah Rut, ia bukan perempuan perkasa yang tahu kapan harus memberikan skak pada suaminya. Rut itu istri yang tukang turut. Takut pada suami. Ekstasinya ituhanya bisa menangis, tangisan pilu dalam lolong kesendirian. Rut, Rut.
Tangisan Rut bukanlah nyanyian kehilangan pohon oak yang gugur daunnya. Ini tentang kecemasan akan adanya kehilangan lain. Hilang permatanya. Bak kitab tua yang merintih kala ditinggal sang pujangga, Rut pun tahu bahwa ia akan kehilnagn Samson. Samson memang bukanlah pujangga. Ia lebih daripada pujangga. Tapi, Rut itu memang anjing piaraan. Dia sendiri yang membatinkn itu. Rut takut pada Samson , suaminya yang tampan, seorang politisi muda, intelektualis berbakat yang disegani di kota itu. Samson itu birokrat tenar. Mungkin itu yang buat Rut takut. Ketakutan dalam bayangan hanyalah kefanaan. Rut yang lugu itu suka jadi penonton kebobrokan sang suami.
Kini, jelaslah arti plintiran senyum Samson. Amlop merah di balik saku bajunya adalah sebuah kejahilan tangan anak manusia yang sedang dikecup nestapa. Uang di dalamnya berjumlah banyak. Rut bahkan terhentak kaget memelototi lembaran-lembaran itu. “ Dari mana kau dapatkan uang sebanyak ini ?”, tanyanya kala Samson menyerahkan itu padanya. “ Masa setiap hari engkau menerima uang terus. Apakah tugasmu di DPR itu hanya untuk sidang saja, lalu diberi amplop semacam ini”. “ Engkau itu tugasmu di rumah. Mengurus kebutuhan kita di sini. Melayani aku suamimu. Engkau tidak tahu, Rut. Aku capek menjelaskannya. Intinya, uang itu kau gunakan untuk kebutuhan kitadan sisanya untuk kesenanganmu”, Samson menyela Rut.“Kamu harus pahamlah ,Rut” “Seharusnya, kamu itu bahagia punya suami seperti aku. Tampan, berdasi, pulang membawa apa yang kau mau”. Rut pun turut serta larut melebur dalam ucapan suaminya. Ia memang tidak tahu apa-apa. Gadis tamatan perguruan tinggi swasta tak terkenal, yang mau kerja tapi dilarang suami, tiap hari hanya bergulat dengan urusan rumah. Lupa satu. Air matanya sudah menjadi elegi tak terbantahkan tiap pagi. Malang benar nasib Rut. Padahal, ia punya suami kaya-raya, yang seharusnya bisa memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya.
Samson sakit, makanya Rut nangis. Ah, masa si tampan berdasi hitam legam, elegan penuh wibawa itu bisa sakit. Rut tahu kalau suaminya lagi sakit. Rut tahu.betul itu. Bahkan, tanyakan pada ubun-ubun kepalanya hingga ujung kuku kakinya, Samson itu sebenarnya sakit apa. Suaminya sering terlibat dalam proyek gelap, bekerjasama dengan para kontraktor untuk memuluskan suatu proyk tertentu. Makanya, kantongnya selalu tebal. Tebal melebar membahana, menyelimuti seluruh rumahnya, menaungi istri cantiknya, menyekap semua yang hendak bersuara pada loteng keadilan. “ Kamu korupsi “, ceplos Rut suatu ketika. Blakk….Tamparan keras melayang, melumati pipi mungilnya. Samson sangat panas dijejali ujaran yang menjijikan itu. Ia marah besar. Istrinya dihajar habis-habisan. Setelah itu, Rut pun tak berani lagi berbicara seperti itu. Rut diam, menyimpan semua perkara dalam hatinya, menumpahakan dalam tangisan suci dalam wajan doa pada Tuhannya. Ia sebenarnya tahu bahwa Samson itu politisi kotor. Rut tak suka itu. Ia bukanlah tipe wanita yang cepat terbuai dengan sajian permata indah. Dalam diam, ia berbisik, “ Tuhan, suamiku lagi sakit.”
Daun hijau cerah yang lambat. Lambat tunasnya, sempat dikeropos ulat berkerikil. Kisah Rut yang berparas menawan hanya menjadi budak bagi dia yang berhati dekil, tajam mengikis hati. Rut hanyalah boneka pameran di rumah itu. Boneka hidup yang tahu kapan harus tersenyum, kapan haarus main, kapan harus menjamu para tamu suaminya, kapan harus muncul di meja kerja sang suami, kapan harus masak, mencuci , lalu, ujung-ujngnya memandang hampa ijazah studinya. Lebih sakral lagi, kapan ia harus berkiblat dalam trenyuh, kemudian tertunduk pada Dewata dan menitikkan air mata.
Suatu ketika, Samson pulang malam. Ia mabuk parah rupanya. Rut saat itu belum tidur, menunggu suaminya bersantap malam bersama. Samson malah marah-marah. Ia membentak Rut tak jelas alasannya. Semua peralatan makan dihamburkan begitu saja.Rut justru dilemparinya gelas kaca. Dahi Rut berdarah. Samson yang keji tak peduli. “ Aku sudah bilang kalau aku pulang mabuk berarti transaksiku gagal. Dan, kamu harus bertingkah baik padaku, bukan memelototiku seperti tadi. “, ia nyerocos setengah sadar. “ Rut, kamu itu sebenarnya hanyalah pembantuku, bukan istriku. Jadi, tidak usahlah menungguku makan malam bersama. Dasar wanita murahan.”. Betapa sakit hati Rut mendengar perkataan itu. Sudah kesakitan disambar gelas berdarah, kini hujaman kata-kata bersayat sembiluh menampar telak lubuk hati murninya. Rut yang malang. Dulu, Samson tidak seperti ini. Samson yang ia kenal dulu itu sangat baik dan perhatian padanya. Entah iblis apa yang telah membuat ia berubah sikap seperti itu. Apakah karena suaminya telah menjadi anggota DPR lalu terlibat dalam bisnis-bisnis gelap hingga tumpullah nuraninya ? Siapa yang salah ? Rut yang terlalu penurut, suaminya yang tak tahu diri, atau lembaga DPR yang telah mengubah perilaku orang yang sangat ia cintai itu.
Samson semakin garang. Setiap permasalahan yang ia alami selalu dilampiaskan pada sang istri. Makian tak berbobot, pukulan-pukulan kasar. RUT itu pun bak dandang bening yang diseduhi air panas. Ia hanya bisa pasrah pada keadaan. Pernah, Rut ditendang di perutnya hingga tersungkur lusuh. Rut menangis trenyuh. Samson tak pernah khilaf. Sikapnya makin mejadi-jadi. Sakitnya semakin parah. Biarlah bekas-bekas luka pada sekujur tubuhnya menjadi saksi tunduk-tanduknya seorang wanita abad dua puluh pada laki-laki berdasi permata. Ya, dasi Samson itu memang berujungkan permata. Permata yang sungguh permata, permata penipuan, permata kemunafikan, permata korupsi, permata dengki, permata nafsu. Rut tahu itu. Meskipun Samson sering memberikannya permata brharga, ia tahu uang itu bukan lahir dari rahim jerih payah. Ia menetas dari kefasikkan. Cukup sudah kau siksa aku, Samson.
Lari. Kau gila, Rut. Tapi, aku sudah tidak tahan. Kau mau lari ke mana. Ke mana saja hati polos membawaku. Toh, aku lari untuk bendera merdeka, bukan karena takut disetrap liang lahat. Batin Rut bertengkar hebat, saling mencambuki entah mau melarikan diri atau bertahan pada amisnya air mata tiap pagi yang selaly meresap dalam guling suaminya. Ia memang lemah, lunglai, rapuh dalam kata kaprah. Penurut setia pada pujangga yang sudahsalah tafsir kitabnya. Rut bukanlah cermianan syair tukang bangkang yang berparas pedas menghujam telinga nurani anak manusia. Ia bergulat hebat pagi itu. Lari ? Ke mana? Rumah orang tuanya nun jauh di sana. Ia juga tak punya sanak famili dekat situ. Ah, pokoknya aku harus bisa lari, berasa pada daya kaki pertiwi yang bisa menuntun ke mana saja. Rut akhirnya benar-benar ingin lari.
Pada malam yang tak pernah letih menaungi terang bulan, Rut malang mengemas semua barang-barangnya. Dari tali kutang termahalnya sampai pada ijazah usangnya, semuanya terpatri pasti dalam koper tuanya. Meskipun hati Rut merujuk tak pasti, mau tidak mau, ia harus segera meninggalkan rumah neraka itu. Rut tak bisa tahan. Ia bukanlah penonton panggung kebobrokkan. Ia tak kuat berkutat dari balik tirai ketakutan dan air mata. Maka, satunya jalan yang bisa ia tempuh ialah membuang semua rekaman yang ia tonton itu. Rut ingin bebas, lepas, tanpa beban. Hmmm, semoga saja kau bisa Rut.
Ngeri sekali. Perabotan di rumah porak poranda. Suasana pagi itu sedang diterpa badai gila kisah anak manusia kehilangan peliharaannya. Samson yang perkasa lagi gila-gilanya mencari istrinya yang telah kabur dari rumah. Ia geram. Setiap barang di dalam rumah dirusakkannya begitu saja. Kamar Rut tak luput menjadi tempat sasar empuk kemarahannnya. “ Rut, kamu di mana ?”, teriaknya. “ Apa yang kurang dari diriku ini ? Semua yang kau minta kuturuti semua ? Tapi, mengapa kau harus kabur. Dasar penjilat, biadab”. Cermin di kamar itu dipecahkannya. Tempat tidur ia banting . Pakaian Rut yang tersisa dihamburkannya tak karuan. Samson memang lagi dibakar api amarah. Kata-kata bermelodikan sumpah serapah dilantunkannya bagi istri pengkhianatnya itu. “ Anjing benar, sampai kapanpun, aku akan membuat perhitungan dengan dirimu, Rut. Engkau tidak akan aman perempuan jalang, pelacur jahanam”.
***
Ibu Walikota itu tersenyum manis usai menyampaikan pidato pelantikannya. Setidaknya, ia telah siap untuk memegang tampuk jabatan selama lima tahun ke depan. Pidato terbuka yang disaksikan seluruh warga kota itu berlangsung menarik. Bahkan, guratan alam pun sepakat akan ini. Langit cerah menorehkan sampul birunya, angin sepoi-sepoi berhembus syahdu, burung layang juga turut berpekik menyanyikan pesta kemenangan rakyat itu. Pesta kemenangan ? Ya, pemimpin mereka kali ini hanyalah seorang wanita biasa. Ia bukanlah seorang yang berlatarbelakangkan politik. Namun, hebatnya, ia mampu menggugah hati nurani para warga kota. Ia tak punya banyak duit untuk melakukan kampanye besar-besaran. Dia muncul dari keprihatinannya sendiri.
Rut Fathmawati hanyalah seorang sarjana ekonomi yang tak punya pengalaman kerja apa-apa. Pengalamannya hanyalah berkutat pada mengurus suami gila harta dan kuasa. Itu yang membuat ia terperanjat dalam makna hidup benafaskan fana. Rut bahkan sudah lupa sama sekali hal-hal yang berkenaan dengan ilmu perekonomian. Ia hanya tahu bagaimana memasak nasi, mencuci piring, mencuci pakaian, menyetrika, lalu melayani suaminya. Itulah sosok Rut. Satu lagi yang tak boleh terlupa. Air mata tangisan. Air mata tangisannyalah yang membuat Rut menjadi seperti ini. Ya, elegi tangisan pagi, air mata bening yang muncrat dari pelupuk matanya, menanar, mengalir sembab menjilati pipinya, lalu bercokol pada guling tidur suaminya. Semunya itu ia tuangkan dalam surat-surat pembebasan yang sempat termuatdalam salah satu media lokal di situ. Tulisan-tulisan Rut telah menyelamatkan dirinya. Buku hariannya diterbitkan secara begulir di koran tersebut. Ada banyak tulisan yang memuat pengalaman hidupnya, terutama ketika berada bersama Samson yang sakit.
Nama saya Rut Fathmawati. Saya adalah istri Samson Sudarman, anggota DPR terkenal itu. Sebenarnya, saya tidak mau menulis kisah hidupku dalam lembaran-lembaran ini, tetapi saya sudah tidak tahu bagaimana caranya menuangkan setiap jengkal emosi yang bergulat hebat dalam diri.
Saya melarikan diri dari rumah kami. Saya sudah tidak tahan dengan semua tingkah laku Samson yang sangat egois dan ingat diri. Samson itu munafik. Dia itu pintar hanya di hadapan publik. Di rumah, dia berbuat seenaknya saja. Dia memperlakukan saya seperti seorang budak peliharaan. Dia juga sering terlibat dalam berbagai proyek gelap. Saya sering menguping pembicaraannya dengan rekan-rekan kontraktornya. Mereka selalu merencanakan hal-hal yang tidak sehat, seperti memuluskan proyek pembangunan tertentu. Saya juga bingung, kenapa setip kali pulang dari kantor, suami saya itu selalu memberikan saya sejumlah uang yang begitu banyak jumlahnya. Ia selalu bilang dengan angkuh, “ Uang itu gunakan untuk membeli permata”. Padahal, saya bukanlah tukang kumpul barang-barang antik itu. Saya masih punya harga diri yang nilainya sangat jauh lebih mahal dari permata tidak jelas itu. Satu hal yang membingungkan saya, dari mana ia dapatkan uang sebanyak itu….
Sikap Samson sungguh membuat saya tidak tahan. Setiap kali, dia bermasalah dengan urusannya, saya selalu menjadi korban pelampiasan amarahnya. Saya bukanlah anjing peliharaan yang bisa ia sepak ke mana saja. Samson awalnya seorang yang sangat ramah, namun setelah menjadi anggota DPR, sikap dan sifatnya berubah haluan. Ia gila kalau sudah berhadapan dengan uang dan kuasa. Matanya itu melotot serakah. Samson memang begitu. Politisi busuk. Saya sebenarnya ingin sekali menegurnya, memberikan ia nasihat. Tapi, saya takut. Setiap kali saya bersuara, dia langsung dengan segera menghardiknya. Hardikannya bukan hanya dalam kata-kata caci maki, tetapi juga diiringi dengan aksi frontal fisiknya yang bengis. Hati dan badan saya terluka semuanya. Saya capek menghadapi ini. Samson, saya harus pergi….
Wanita yang lemah-gemulai. Tak bisa berbuat apa-apa. Saya malu pada cap yang saya buat pada diri saya sendiri ini. Saya terlalu takut untuk ini. Saya sungguh benar-benar diperbudak oleh ketakutan saya sendiri. Padahal, di luar sana, ada begitu banyak wanita hebat yang mampu merubah orang-orang di sekitarnya, apalagi orang-orang yag mereka sayangi. Mereka bahkan bisa memberikan hal berharga untuk tanah kelahirannya. Mereka sungguh hebat. Saya ingin seperti mereka. Apakah saya bisa ? Mengurus Samson saja tidak bisa, apalagi bermimpi utnuk merubah dunia…
Tuhan, yang baik hati, yang tahu memeluk mimpi setiap hamba-Nya. Saya mungkin terlalu bodoh untuk bermimpi di atas kidung penyesalan ini. Saya ingin sekali menjadi wanita pejuang keadilan dan kebenaran yang tidak takut pada tantangan apapun. Saya sudah berbulat tekad untuk membunuh penyakit takut yang selama ini ada dalam diri tak berdaya ini. Bahkan, jika Engkau berkenan merestui, saya pun akan berani untuk menggugat skandal suami saya itu…
Saya memang tidak tahu untuk merangkai kata indah untuk menggambarkan perasaan yang selama ini melingkupi diri saya. Namun, bagi siapa saja yang sempat membaca tulisan kerontang ini, saya ingin agar suara tak bersuara ini bisa didengarkan.
Semenjak lari meninggalkan segala kegermelapan di istana neraka suaminya, Rut menginap di rumah salah seorang kenalannya. Hanya itulah satu-satunya alamat yang terperangkap di dompetnya. Di situlah, Rut duduk merenung dan menulis segelintir pengalaman yang ia rasakan tersebut. Dengan bantuan temannya itu,tulisan Rut berhasil dipublikasikan di salah satu media cetak. Rut menjadi tenar seketika. Dirinya diburu oleh para jurnalis untuk memberikan kesaksian terkait masalah suaminya. Rut membuka tabir semuanya. Ia tidak takut lagi menghadapi Samson. Kini, banyak orang mendukungnya. Akhir cerita, Samson yang memang sudah dicurigai karena melakukan skandal penipuan tender proyek akhirnya berhasil dijebloskan ke dalam jeruji besi. Nama Rut menjadi mashyur seketika. Ia dianggap sebagai pahlwan kota itu.
Demikianlah si tukang kisah mengakhiri ceritanya kepada segenap anak bangsa tentang drama realitas Kisah Dasi Permata yang dialami Walikota mereka, Rut Famahwati. Dialah perempuan yang bangun dari ketakutannya, lalu berani terbang menyuarakan keadilan. Dia pernah diperbudak air mata tetapi mampu menyajikan mata air segar bagi mereka. Mata air yang bersumberkan semangat dan keberanian, yang bermuarakan kebersahajaan dan kesejahteraan hidup bersama. Dialah Walikota wanita pertama di daerah itu yang juga dipilih karena kesepakatan bersama bukan melalui satu pemilihan umum yang santer dengan permainan kotornya. Tukang cerita itu kemudian berhenti bercerita, dan para tukang dengar pun pulang ke rumah mereka membawa satu bungkus pesan klasik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H