Lihat ke Halaman Asli

Hujan, Desember, dan Akhir tahun

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, hujan yang melanda berbagai wilayah di Indonesia menyebabkan sedikit terhambatnya beragam aktivitas keseharian kita. Curah hujan yang begitu tinggi dan tak kenal waktu tersebut seolah-olah menjadi batu sandungan dalam setiap optimalisasi kegiatan. Hujan bak menampilkan dua sisi mata uang berbeda tatkala dikaitkan dengan pemaknaan kita terhadapnya. Pertama, bagi sebagian kalangan, misalnya para petani, eksistensi hujan dilihat sebagai berkah bagi kesuburan tanah garapannya dan adapun pihak tertentu yang berbahagia karena telah lama merindukan hujan. Kedua, kalangan tertentu, para nelayan, buruh, penyedia jasa transportasi,dll, hujan merupakan suatu presipitasi yang sedikit merugikan karena menghalangi aktivitas mereka. Namun, harus disadari bahwa kemanfaatan hujan itu tergantung pada masing-masing kita yang memaknainya. Semuanya itu sangat subjektif dan tergantung persepsi kita akan adanya hujan itu. Hujan tetaplah hujan dan ia eksis secara fenomenologis, tak pernah lelah melumati setiap jengkal bumi ini, khususnya bagi kita yang daerahnya sering kehujanan dengan porsi yang cukup tinggi.

Dalam pelajaran Geografi, musim hujan di Indonesia terjadi pada bulan Oktober sampai April, sementara musim kemarau itu pada Mei hingga September. Musim hujan ini disebabkan hembusan angin muson barat yang bertiup dari benua Asia dengan tekanan udara maksimum menuju benua Australia yang bertekanan udara minimum. Angin muson barat ini banyak membawa uap air sehingga daerah Indonesia menjadi ladang empuk untuk dikenai hujan itu. Akan tetapi, apa yang dipelajari dalam ilmu Geografi itu rupanya tidak bersesuaian dengan realitas yang terjadi sekarang. Maksudnya, hujan yang seyogianya “terbit” mulai dari Oktober justru mulai bergiat sekitar pertengahan November bahkan awal Desember ini. Inilah yang dirasakan dirasakan secara umum di Indonesia. Memang ada tempat-tempat tertentu yang sudah merasakan hujan sesuai dengan waktunya. Kembali ke hal sebelumnya, ketika memasuki pertengahan Oktober, banyak dari kita resah bahkan cemas karena belum setetes air hujan pun yang membasahi tanah kita. Para petani mulai hiruk-pikuk mencari solusi untuk mengolah sawah dan ladangnya demi pemenuhan kebutuhan hidup. Rata-rata semua orang berharap supaya hujan segera turun membasah bumi. Kekalutan semakin bertambah sebab hingga awal November pun belum ada tanda-tanda signifikan atas partisipasi hujan dalam kehidupan manusia. Akhirnya, sekitar pertengahan November, hujan yang dirindukan itu mulai turun, membasahi bumi, memberikan nyawa bagi kita sekalian. Yang menjadi intinya ialah hujan datang terlambat menyapa wajah bumi kita Indonesia dengan masing-masing kita punya pengalaman tersendiri.

Tak dapat dimungkiri bahwa pada bulan Desember ini hampir sebagian besar daerah di Nusantara telah kehujanan. Bahkan, hujan yang turun itu dengan curah yang cukup tinggi. Ya, pada awal bulan ini, hujan tak kenal kompromi lagi, tak pakai basa-basi lagi. Makanya, abstraksi pada awal tulisan ini dapat diperkenankan. Sekarang, orang mulai memberikan penilaian terhadap hujan. Ada yang mulai bosan karena setiap saat selalu merasakan hujan. Ada juga yang bahagia dan menikmatinya sebagai suatu anugerah yang terberi dari Tuhan. Pokoknya, masing-masing kita memiliki kredit tersendiri terhadapnya setidaknya sampai pada momen-momen sekarang ini. Ini sangat subjektif karena kita yang mengalami dan merasakannya.

Satu hal yang mesti diingat ialah hujan itu merupakan rahmat, pemberian Tuhan. Ia adalah anugerah. Oleh karena itu, eksistensinya harus ditinjau secara positif-reflektif. Di sini, kita mencoba menginterpretasi dan menganalisis realitas yang sedang kita alami ini. Patut diketahui, setiap gejala alam merupakan ejahwantah tak langsung dari maksud Tuhan kepada manusia. Pertanyaan fundamental dari ujaran ini ialah mengapa hujan datang terlambat. Kita melihat ini dalam suatu skala nasional. Sebenarnya, kita sedang diperingatkan oleh alam. Ada banyak sekali sikap dan tindakan kita yang bertentangan dengan hukum Tuhan. Kita telah banyak melanggar haluan etika kosmis sebagai kekhasaan filsafat berpikir kita bagian belahan dunia Timur. Kisruh mulai dari para elite politik hingga pada level akar rumput menjadi semacam santapan wajib yang niscaya dikonsumsi. Apalagi pada bulan Oktober itu, sangatlah seru peragaan masalah-masalah yang dipertontonkan. Tidak perlu dijelaskan satu per satu secara runtut sebab kita semua sebagai anak bangsa pasti tahu secara baik. Bulan November juga tidak kalah daya saingnya dengan jumputan persoalan-persoalannya. Hujan sebagai representasi alam rupanya malu melihat semuanya itu dan enggan untuk turun membasahi wajah bumi kita. Ia tidak ingin esensinya sebagai sesuatu yang baik mendapat penodaan oleh lagak-lagu kita yang kurang bermartabat. Hujan lebih memilih menonton kita dari langit, melihat para produk intelektualitas menunjukkan taring keburukkannya.

Akan tetapi, ia luluh juga. Rupanya ada banyak orang kecil, para petani, yang membutuhkan dirinya. Makanya, hujan pun tampil sekitar pertengahan November untuk memberi kehidupan kepada mereka. Ada unsur karitatif yang ditampilkan di tengah penatnya situasi permasalahan bangsa ini. Awal Desember, hujan semakin aktif berpartisipasi dan keaktifannya itu kadang justru menimbulkan masalah bagi sebagian pihak. Interpretasi lanjutan akan hal ini. Hujan yang semakin hari curahnya semakin deras menunjukkan peringatan dari Tuhan supaya kita (bangsa) berhenti sudah bergunjang-gunjing dengan hal-hal yang sebenarnya tidak patut dan pantas untuk dipermasalahkan. Kita terlalu larut dalam hal-hal yang tidak perlu sehingga itu membuat kita sendiri menjadi pusing. Ada banyak hal baik yang bisa ditampilkan bangsa ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang mungkin “kelewat pintarnya” menyebabkan hal yang baik itu menjadi masalah. Lihat dan rasakan sendiri peringatan dari hujan itu. Ingat, hujan pada dasarnya adalah baik. Ia baik in se. Kesengsaraan akibat bencana alam yang timbul karena hujan merupakan persepsi kita yang berakal budi yang memberikan penilaian atas setiap fenomena yang ada. Bencana alam atau semacamnya mesti dilihat dalam aspek kritis-reflektif.

Momen akhir tahun menjadi kesempatan tampan bagi kita untuk berefleksi diri dan melakukan intropeksi. Kita melihat lagi poin-poin positif yang sudah kita lakukan sepanjang tahun ini, terkhusus selama musim penghujan yang sedang berlangsung ini. Kita juga melihat kekurangan dan kesalahan kita dalam tataran pengingkaran terhadap ideologi dan cita-cita bangsa. Khilaf itu hukumnya wajib dan mesti ada kesadaran internal untuk berubah dan membangun bangsa ini ke arah lebih baik. Selain itu, kecakapan untuk membaca tanda-tanda zaman itu mutlak perlu supaya kita tidak hanya berada dalam dunia kesibukan kita tetapi juga mampu melihat dan mendengarkan suara bumi kita ini. Jikalau suara rakyat sebagai suara Tuhan sudah tidak memiliki kekuatannya lagi, semoga saja suara hujan sebagai suaranya Tuhan bisa memberikan sedikit pencerahan kepada kita semua. Tentunya, kita tidak ingin ‘kan kalau di Indonesia ini hanya ada musim kemarau saja. Hujan, Desember, dan momen akhir tahun hanyalah suatu pengantar ke kedalaman diri kita masing-masing dalam revitalisasi nilai-nilai kehidupan. Barang siapa yang punya hati nurani, hendaklah ia sadar dan mengintropeksi diri guna membangun bangsa ini secara lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline