Lihat ke Halaman Asli

Menggurat Asa, Membingkai Waktu

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Waktu kadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah, dan terlalu pendek bagi yang bahagia. Tapi bagi yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian.”

(Henry Van Dike)

Tak dapat dimungkiri, gelora waktu tak pernah henti-hentinya berputar. Waktu mengalir tanpa kompromi, tak kenal basa-basi, meresap penuh pasti. Waktu membawa manusia pada keabadian sebab hidup adalah suatu proses menuju Yang Ilahi. Manusia berproses dalam waktu. Manusia menggurat asanya dalam bingkai waktu. Terkadang, pesona waktu membuai kita manusia itu, melarutkan diri dalam sari-sarinya. Kita pun terlena oleh arus waktu dan tak sadar bahwa telah berada pada sentrum tertentu. Waktu memang gila, tapi manusia akan lebih gila lagi bila tak pernah menggurat asa, menaruh cercahan harapan dalam tapak-tapak bingkai waktu tersebut. Waktu memang liar, tapi kita akan menjadi lebih liar bila tak pernah berhenti pada suatu titik untuk melihat keseluruhan diri kita sebagai tanggapan atas kebesaran kasih Allah.

Entah merasa atau tidak merasa, entah tahu atau tidak tahu, entah sadar atau tidak sadar, sedikit lagi kita akan melewati suatu panggung waktu bernama tahun 2014. Tahun 2014 dalam konteks ini merupakan suatu perhitungan kalender lunar yang didasarkan pada pergerakkan siklus bulan mulai dari 1 Januari hingga 31 Desember. Bagaikan kilat yang gesit memekik, tahun 2014 pun berlalu begitu cepat. Kita pun takjub, kini akan memasuki tahun baru lagi. Sungguh cepat serentak tepat. Cepat karena kita seolah-olah baru saja merayakan tahun baru 2014 sebulan lalu. Tepat karena tidak ada satu pun tanggal dalam perhitungan kalender konvensional yang dipangkas ataupun dihilangkan guna mempercepat 2014 itu. Hal ini dipertegas lagi oleh filsuf Herakleitos dengan ujaran santernya, Panta rhey kai uden menei. Segala sesuatu mengalir dan tidak ada yang tinggal tetap.

Berani untuk duc in altum ke kedalaman diri adalah suatu pilihan bijak. Pada momen akhir tahun yang berahmat nan romantis ini, kita menilik kembali lika-liku, kisah-kasih memori 2014. Melihatnya merupakan suatu keharusan. Merefleksikannya juga merupakan kemestian. Diri kita telah memercik tinta asa di atas kertas waktu. Sudah barang tentu terdapat sejuta pengalaman yang menjadi warna kehidupan ini. Pengalaman-pengalaman, pijakan kisah-kisah hidup menunjukkan eksistensi diri kita sebagai makhluk peziarah. Manusia yang selalu bersaksi dan beraksi dari waktu ke waktu. Lanjutannya, satu ujaran tak terbantahkan mesti didengungkan. Warna-warni pengalaman itu ada dalam bentangan pelangi kasih Allah. Ya, kasih Allah selalu beserta kita hingga saat ini, di bukit waktu ini. Dia merangkai karya-karya kita pada bingkai waktu yang indah. Untuk segala sesuatu, ada waktunya.

Tahun 2014 yang akan dilalui ini sudah pasti menyajikan lembaran cerita tersendiri dalam perjalanan hidup kita. Berkaitan dengan pengalaman hidup, setidaknya ada dua kata kunci yang layak dieksplanasi. Pertama, pengalaman bukit/puncak sebagai peristiwa suka bahagia kita, kesempatan mendapatkan suntikan cinta, pengalaman dihargai/dihormati, menerima sesuatu yang indah, mendapatkan kesuksesan, dan lain sebagainya. Fokusnya, pengalaman ini menghantarkan asumsi kita tentang kebaikan kasih Allah. Kedua, pengalaman lembah yang merujuk pada peristiwa duka derita, pengalaman ditolak/terjatuh, kegagalan ataupun hal-hal yang menjadikan diri kita sedih, terluka, dan putus asa. Pada poin ini, kita kadang berpikir Tuhan jauh meninggalkan kita, melepaskan kita sendirian. Kita beranggapan guratan asa kita tak pernah dipeluk oleh Tuhan.

Mari menarik napas sejenak, lalu berpusat pada kata-kata sang Pengkhotbah berikut, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya”. Harus disadari, setipap pengalaman hidup kita, terkhususnya selama tahun 2014 itu, tidak terjadi begitu saja seolah tanpa disengaja ataupun tanpa terkendali. Tuhan selalu memiliki kendali atas setiap waktu yang ada sebab waktu itu ada untuk menghiasi hidup kita dengan maksud tertentu. Genderang tahun 2015 akan ditabuh . Kita akan berada pada suatu garis start tahun baru. Waktulah yang membawa kita sampai pada titik itu. Ini bukan suatu bentuk eskapisme diri dari panggung waktu 2014. Kita dihantar pada suatu tingkat posisi dan disposisi diri yang mantap untuk menggurat asa pada tahun yang baru nanti.Hari-hari dalam tahun 2015 nanti masih terlalu panjang untuk digandrungi. Semuanya itu mesti ditatap dalam balutan optimisme. Harus tetap diperhatikan bahwa 2015 akan tetap mempertontonkan geliatan-geliatan panas arus zaman, perkembangan teknologi yang semakin menggila dan tentunya bisa menyayat jati diri kita bila tak disiasati secara bijaksana.

Menggurat asa, membingkai waktu mungkin merupakan suatu pengujaran ekstensif dan kompleks. Akan tetapi, fokusnya ialah diri kita selalu menaruh harapan di dalam Tuhan dalam meraih mimpi-mimpi. Kita terus bergiat, bekerja, berusaha mewujudkan cita-cita pada setiap celah waktu hidup ini. Dengan demikian, waktu yang lesatannya tak pakai musyawarah itu dapat dimanfaatkan sebaiknya oleh setiap insan manusia. 2014 akan menjadi tak bermakna apabila kita mengalami degradasi harapan atas setiap etos kerja yang telah kita perjuangkan. Hanyalah suatu kesia-siaan belaka bila kita tetap larut dalam frustasi tanpa mau berbenah diri, memacu motivasi guna meraih cita-cita yang belum tercapai. Sebuah adagium Latin berbunyi begini, “Tempora mutantur et nos muntamur in illis.” Zaman berubah dan kita pun turut berubah di dalamnya. Perubahan yang dituntut dari manusia ialah pancaran aksi praktis-realistis dalam memaknai hari-hari Tuhan untuk kita itu. Marilah membuang segala rasa amarah, benci, dendam, perasaan kesal gelisah yang menggelayut pada senja 2014 ini. Biarkanlah 2014 berlalu dengan segala keburukkan kita. Mengusir kecemasan-kecemasan yang tidak perlu dan juga membangun semangat baru. “Hidup ini seolah-olah sebagai kebetulan-kebetulan, tetapi bagi saya itulah providentia Dei, itulah penyelenggaraan Allah”, demikanlah kata Jakob Oetama dalam bukunya Bersyukur dan Menggugat Diri.

Pada kesempatan akhir tahun 2014 ini, barang siapa yang hendak menangis, menangislah. Ataupun, tersenyumlah, tertawalah. Sampaikan salam cintamu pada keelokan paras 2014. 2014 itu anugerah terindah dari Sang Pencipta. Angkatlah gelas anggurmu dan mari bersulang untuk pesta kita. Bersyukurlah bahwa kita masih tetap diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berproses dalam waktu-Nya. Selamat jalan 2014, permainan cintamu akan tetap terkenang selalu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline