Lihat ke Halaman Asli

Epa Mustopa

Seorang Pendidik Yang Tersesat Menjadi Tenaga Kependidikan

Sudah Capek "Tertimpa" Diare, Untung Ada Tolak Angin

Diperbarui: 24 Juli 2018   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Saya seorang guru gonor, mengajar di beberapa sekolah dengan mengambil garapan bidang studi bahasa inggris di SD, matematika di SMP, dan Ekonomi di SMA. Untuk ukuran di pelosok, mencari guru dengan kualifikasi akademis yang linear sungguh bukan perkara mudah. Dengan kata lain, masih mending ada guru yang bersedia meluangkan waktu untuk mengajar.

Dalam seminggu saya bolak balik mengajar dari jam delapan pagi hingga jam lima sore. Kebiasaan baik menyempatkan sarapan sebelum bekerja perlahan saya tinggalkan. Bukan karena tidak ada sesuap nasi untuk mengganjal perut, melainkan tuntutan tugas di akhir semester 2 tahun pelajaran 2009/2010 begitu menyita waktu. Sejumlah tugas tambahan selain mengajar mulai merampas jatah waktu sarapan.

Kegiatan akhir tahun pelajaran berupa acara perpisahan sudah lazim menjadi kegiatan rutin untuk menarik minat siswa baru, sekaligus ajang kreatifitas yang menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan sekolah dalam mencetak siswa kreatif. Di salah satu SMP Negeri, saya ditugaskan untuk melatih beberapa pementasan drama komedi. Tidak hanya melatih, saya saat itu merancang naskah sekaligus dibebani harus menjadi pembawa acara.

Bagaimana bisa saya ditugaskan melatih pementasan drama? Kan di awal paragraf dipaparkan sebagai guru matematika. Anda sebagai pembaca jangan kaget. Di sekolah dengan status negeri, seorang guru honor harus menjadi peribadi yang serba bisa, multi talent, atau harus jadi manusia langka agar tetap dibutuhkan oleh pihak sekolah. Begini ceritanya, saya mengajar mata pelajaran matematika saat diterima sebagai guru honor. Walaupun latar belakang akademis mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, saya dituntut untuk bisa mengajar matematika karena sudah datang guru PNS mata pelajaran IPS maka posisi saya tergeser. 

Enam bulan kemudian saya digeser lagi dari mengajar matematika menjadi guru mata pelajaran Bahasa Inggris. Masih belum tentu nasib saat itu, karena saya yakin posisi saya akan tergeser lagi seiring datangnya guru PNS baru. Ternyata benar, kali ini saya harus rela berpindah dari Bahasa Inggris ke Muatan Lokal Bahasa Sunda. Saya kira saat itu sudah mentok, tidak akan ada lagi pergeseran. Namun, fakta mengatakan sebaliknya. Saya harus bermuara menjadi guru mata pelajaran Seni Budaya karena tergeser lagi oleh guru PNS di bidangnya. Itulah ikhwal saya harus terjun semaksimal mungkin melatih pementasan drama.

Mengapa pihak sekolah menggeser saya terus hingga bermuara pada mata pelajaran Seni Budaya? Mengapa saya tidak di pecat saja?

Awal kisah SMP Negeri didirikan di sebuah kampung yang jauh dari kota kecamatan. Sejumlah pihak terkait turut serta terlibat dalam pendirian. Mulai dari Pejabat Bidang Pendidikan, Camat, Kepala Desa, dan sejumlah tokoh masyarakat. 

Pendirian SMP Negeri tersebut menggantikan posisi SMP terbuka tempat saya sebagai guru pamong yang leluasa mengurusi siswa bagaikan seorang "raja". Hehehe. SMP Terbuka didirikan tahun 2004, dan saya bersama dua orang teman ditunjuk sebagai guru pamong. SMP Terbuka menggunakan sistem administrasi menginduk pada SMP Negeri yang sudah mapan. Tempat belajar siswa SMP Terbuka menggunakan gedung SD dengan sejumlah perizinan ringan.

Kurang lebih 78 siswa SMP Terbuka dikelola pembelajarannya oleh tiga orang guru pamong yang harus menguasai seluruh mata pelajaran. Pihak SMP induk menegaskan seorang guru pamong tidak usah terlalu repot harus menguasai seluruh mata pelajaran, karena siswa dibekali dengan modul. Namun, saya berpikir sebaliknya. Tugas mengajar harus dibarengi dengan kemampuan mentransfer ilmu yang mumpuni.

Semenjak didirikan SMP Negeri yang baru, SMP Terbuka harus dengan terpaksa mengalah dan ditutup. Saya terus memperjuangkan hak agar bisa ikut mengajar di SMP Negeri yang baru dan akhirnya setelah perjuangan yang melelahkan saya pun diterima.

Apa hubungan kegiatan mengajar saya dengan Tolak Angin?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline