Lihat ke Halaman Asli

Sabang Pulau Harta Karun

Diperbarui: 24 Oktober 2019   18:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jihan terkejut, dihitung-hitung udah lebih lima belas mata gergaji patah. "Fitri. Ambil mata gergaji baru yang di dalam tas", Teriak Jihan. Mata gergaji yang ke enam belas diberikan ke Jihan. Jihan memasangnya ke lorok gergaji. Kemudian dipotongmya lagi tangkai gembok kunci goa yang amat misterius itu. Sekali memotong sekali disiramnya dengan air yang disediakan Fitri.

"Fitri, apa yang kau tau tentang isi goa ini, pasti ada harta karun yang banyak, seperti yang pernah kukatakan dulu sebelum aku di penjara karena ulahmu", Celetuk Jihan sambil terus memotong tangkai gembok yang menutup dua pintu goa Aneuk Laot.

Fitri terdiam, ia teringat masa-masa kelam yang pernah dialaminya bersama Amran, sampai dia menjebak Jihan. Tapi semuanya telah terjadi. Sekarang dia berharap pintu goa bisa segera terbuka. Tentu di dalamnya ada harta karun peninggalan tentara Jepang.

Jihan melirik kekiri, dilihatnya Fitri tertidur pulas. Entah karena lelah menunggu, entah karena mimpi indah. Namun semuanya tidak dihiraukan  Jihan.

Tangan Jihan terus saja bergoyang-goyang memotong tangkai gembok tua karatan peninggalan Jepang. Ini goa yang ke sebelas, goa terakhir, dan juga mungkin goa harapan.

Tujuh peta harta karun milik ayahnya telah terbakar sijago merah ketika dia kuliah dulu. Peta-peta itu disimpannya dalam sebuah tas di sebuah ruangan kegiatan mahasiswa, Gedung Gelanggang Unsyiah. Tapi malam itu naas, gedung Gelanggang Mahasiswa terbakar, terbakar sekalian harapan ayah dan harapan Jihan yang telah direncanakan bertahun-tahun.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi "krak", mata gergaji yang ke enam belas patah. "Busyet, ini mata gergaji terakhir" tubuh Jihan lemah lunglai. Dibantingnya gagang gergaji kepintu goa. Tapi tiba-tiba pintu besi yang karatan itu terlekang dari mulut goa. Jihan kekagetan. Dengan cekatan ditariknya tangan Fitri dari hantaman pintu goa.

Mata Jihan kembali tertuju kemulut goa yang sudah terbuka lebar. Antara senang dan was-was, Jihan mendekati pintu goa. "Hati-hati",  Teriak Fitri. Tiba-tiba Jihan berhenti, matanya liar mengawasi lingkungan sekitar. "Semoga tidak ada manusia yang melihat kita", Bisik Jihan pada Fitri.

Jihan memperhatikan sebuah tulisan "Japan 1940" tulisan itu sudah karatan, terukir di pintu bagian dalam. "Berarti benar ini goa milik tentara Jepang, mudah-mudahan kali ini kami beruntung" Bisiknya dalam hati.

"Fitri, Ambil senter  di saku ransel bagian depan, goa ini sangat gelap",  perintah Jihan. Dengan sangat hati-hati mereka melangkah kaki ke mulut goa. Fitri berjalan di belakang Jihan. Ada rasa ketakutan di hatinya. Tapi tak berani diungkapkan di depan Jihan. Diam berarti selamat, pikirnya.

 Sebenarnya Fitrilah yang paling bernafsu memasuki goa. Dia ingin mengulangi kembali petualangan ayahnya lima puluh satu tahun yang lalu. Menurut pamannya, satu hari sebelum Indonesia merdeka, empat orang tentara Jepang didampingi dua orang pribumi menaiki gunung Aneuk Laot. Dua orang pribumi membawa sebuah peti seukuran tas enam kilo. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline