Selain nasi, tempe juga adalah makanan favorit bagi orang Indonesia. Anekdot yang mengatakan, "orang Indonesia belum dibilang makan kalau belum makan nasi", memiliki kesamaan dengan anekdot, "tiada hari tanpa tempe". Benar? Di rumah saya pun, setiap hari selalu ada olahan tempe. Kadangkala bapak saya berkelakar "dasar anak tempe!", ketika saya lebih memilih tempe ketimbang gulai kambing yang sama-sama tersaji di meja makan.
Sebagai penyuka tempe, hampir setiap hari saya juga mengkonsumsinya. Selain sebagai "gorengan", tempe juga bisa diolah dengan berbagai cara dan bisa menjadi bahan campuran berbagai macam tumisan. Bahkan, tempe yang sudah "semangit" pun justru akan terasa lebih nikmat jika ditumis dengan pare atau kacang panjang, apalagi ditambah teri. Beuuh.. nikmat tiada terkira. Berbagai menu olahan tempe antara lain orak-arik tempe, tempe goreng kremes, mendoan, sambel tempe uleg, sambel tempe tumis, krupuk tempe, botok tempe, dan tumisan sayuran yang dicampuri tempe. Sangat lengkap dan beragam bukan? Anehnya, begitu banyak keunggulan tempe karena bisa dimasak berbagai macam menu, justru seringkali dianggap sebagai makanan "ndeso". Selama ini, citra yang melekat pada tempe adalah sebagai makanan rakyat jelata, makanan kelas ekonomi menengah ke bawah, dan makanan murahan. Tempe dianggap sebagai makanan tradisional yang tidak bernilai harganya. Tempe juga identik dengan masyarakat pedesaan. Sungguh stereotipe yang tidak tahu bagaimana asal usulnya.
Padahal, jika dipandang oleh ahli gizi, tempe adalah makanan yang mengandung nutrisi beragam mulai dari sumber protein nabati, sumber serat, sebagai antioksidan, mengadung vitamin B6 dan kaya akan kalium, magnesium, kalsium dan zat besi. Dalam 100 gram tempe, kandungan protein senilai 19 gram, kalori 193 kkal, lemak total 11 gram, magnesium 20% dan vitamin B6 10%. Kandungan gizi di dalam tempe bahkan lebih baik dari bahan bakunya yaitu kedelai dan produk turunan lainnya.
Di mata internasional, tempe justru mendapat pengakuan yang membanggakan. Tempe kini dianggap sebagai trend kuliner modern. Tempe sebagai superfood merupakan makanan fermentasi terbaik untuk kesehatan usus, membantu meningkatkan pencernaan dan mengurangi risiko penyakit jantung. Tempe saat ini juga menjadi makanan favorit bagi kalangan vegan dan vegetarian karena dapat menggantikan daging dengan rasa yang masih diterima oleh lidah. Bahkan, di beberapa restoran tempe menjadi sumber inovasi bahan utama dalam menu seperti burger, salad, tumisan hingga pasta. Dari aspek ekologi, tempe bersifat berkelanjutan karena memiliki jejak karbon yang lebih kecil dibandingkan makanan hewani. Bahkan saat ini tempe diakui sebagai makanan asli Indonesia, warisan budaya nenek moyang, yang mencerminkan keahlian tradisional fermentasi.
Jika kita cermati, proses pembuatan tempe tidak terlalu sulit. Hanya butuh dua bahan, yaitu kedelai dan ragi tempe yang mengandung spora jamur Rhizopus. Cara pembuatan tempe cukup sederhana: kedelai dibersihkan, direndam, dipisahkan kulit arinya, direbus, ditambahkan ragi tempe kemudian dibungkus dan difermentasi. Hal yang menarik dan menggelitik hati saya adalah bahan baku tempe yaitu kedelai. Dengan mengetahui bagaimana dinamika kedelai, barangkali ktia akan mengubah streotipe tempe sebagai makanan "ndeso" menjadi makanan "sultan".
Kedelai adalah salah satu jenis kacang-kacangan yang memiliki banyak kandungan nutrisi sehingga bermanfaat bagi tubuh manusia. Sebagai bahan baku utama kedelai, Indonesia masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan kedelai domestik. Saat ini, kebutuhan kedelai untuk konsumsi dalam negeri mencapai 2,8 jutan ton per tahun, sedangkan produksi lokal hanya berkisar 300 ribu ton. Sungguh nominal yang sangat timpang bukan? Pemerintah memang sedang berupaya untuk merangsang petani lokal agar mau membudidayakan kedelai. Pemerintah berencana untuk meningkatkan hasil panen dari rata-rata 1,6 ton/ha menjadi 3-4 ton/ha. Perluasan lahan tanam kedelai juga akan dilakukan dengan target 600 ribu hektar dengan anggaran sebesar 400 miliar rupiah. Sebuah nilai yang sangat "sultan" bukan?
Kebutuhan kedelai domestik saat ini hampir sepenuhnya (90%) dicukupi dari impor. Negara eksportir kedelai ke Indonesia antara lain Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Kanada, Ukraina dan India. Besarnya ketergantungan impor kedelai ini mengakibatkan tarif impor kedelai nol persen. Kebijakan ini diputuskan dalam rangka memperlancar pasokan kedelai impor agar industri kedelai domestik tetap hidup dan memperoleh harga kedelai yang terjangkau. Namun, kebijakan ini jika tidak direvisi justru akan menjadi simalakama bagi petani kedelai lokal.
Sebagaimana telah saya katakan, pemerintah berencana untuk mendukung petani lokal dalam memproduksi kedelai. Semangat ini harusnya didukung juga dengan kebijakan di subsistem hilir. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa harga kedelai lokal aman dari serangan kedelai impor. Pemerintah juga harus mencarikan pasar bagi petani lokal untuk memasarkan kedelainya. Karena selama ini industri kedelai sudah sangat bergantung dari kedelai impor, tidak hanya kuantitasnya tetapi juga karakteristik kedelai impor yang sesuai dengan kebutuhan industri tempe domestik. Pemerintah mesti merevisi kebijakan nol tarif untuk kedelai agar mendorong produksi kedelai lokal. Tarif yang lebih tinggi diharapkan dapat membuat kedelai lokal lebih kompetitif di pasar.
Jadi, apakah sekarang anda sudah bersedia merubah streotipe tempe sebagai makanan sultan? Mengingat untuk bahan bakunya saja kita harus impor dan untuk menghasilkan sendiri kita butuh biaya yang sangat besar. Masihkah kita menganggap tempe sebagai makanan yang hanya untuk golongan ekonomi rendah? Padahal, tempe telah diakui dunia sebagai makanan tradisional Indonesia yang "canggih" dalam proses fermentasinya. Yuk, makan tempe setiap hari!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H