Lihat ke Halaman Asli

Enun Nurhasanah

Dosen di STKIP Yapis Dompu dan Mahasiswa Pascasarjana S3

Dompu di Persimpangan : Pendidikan Karakter atau Kebebasan Berpikir?

Diperbarui: 4 Desember 2024   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siswa di Kabupaten Dompu dalam Proses Pembelajaran Aktif  (https://youtu.be/zant58twbI8)

Kabupaten Dompu, sebagai wilayah dengan kekayaan budaya dan potensi pendidikan, kini menghadapi tantangan dalam dunia pendidikan: memilih antara memperkuat pendidikan karakter atau memprioritaskan kebebasan berpikir siswa. Kedua pendekatan ini sama pentingnya dalam membentuk generasi masa depan, namun sering kali dianggap bertentangan. Pendidikan karakter bertujuan menanamkan nilai-nilai moral, sedangkan kebebasan berpikir mendorong kreativitas dan inovasi. Lalu, bagaimana pendidikan di Dompu dapat mengintegrasikan keduanya?

Sebagai daerah yang sedang berkembang, Dompu memerlukan generasi muda yang tidak hanya bermoral tetapi juga mampu berpikir kritis. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa wilayah dengan program pendidikan karakter yang kuat cenderung memiliki siswa yang lebih disiplin, tetapi sering kali kurang unggul dalam hal inovasi . Di sisi lain, pendekatan kebebasan berpikir tanpa landasan nilai yang kuat bisa memicu permasalahan sosial. Pemerintah Kabupaten Dompu, melalui dinas pendidikan, telah mengimplementasikan kurikulum yang mengedepankan nilai-nilai lokal seperti gotong royong dan tanggung jawab. Namun, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membuat pendidikan ini relevan dengan era globalisasi. Kebebasan berpikir diperlukan untuk mendorong inovasi teknologi dan pengembangan sumber daya manusia yang adaptif terhadap perubahan zaman.

Integrasi pendidikan karakter dan kebebasan berpikir bukanlah hal yang mustahil. Sebuah model pendidikan yang menggabungkan kedua pendekatan ini telah diterapkan di beberapa sekolah berbasis proyek di Indonesia. Proyek-proyek tersebut melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan etis sekaligus memecahkan masalah nyata. Misalnya, siswa diajak untuk merancang solusi bagi tantangan lingkungan di Dompu sambil mempraktikkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab. Guru di Dompu memiliki peran sentral dalam menghidupkan sinergi ini. Mereka tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan keseimbangan antara norma-norma sosial dan kebebasan berpikir. Pelatihan guru menjadi langkah penting untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menerapkan pendekatan ini. Sayangnya, data menunjukkan bahwa pelatihan semacam ini masih sangat terbatas di Dompu.

Peran orang tua dan masyarakat juga tidak kalah penting. Dalam pendidikan karakter, keluarga adalah basis utama, sedangkan kebebasan berpikir sering kali berkembang dalam komunitas yang terbuka dan mendukung dialog. Dompu membutuhkan kerjasama antara sekolah, keluarga, dan komunitas untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang holistik. Keberhasilan Dompu dalam mengatasi dilema ini akan menjadi contoh penting bagi daerah lain. Pendidikan karakter dan kebebasan berpikir bukanlah pilihan yang harus dipertentangkan, tetapi dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Dengan pendekatan yang tepat, Dompu dapat mencetak generasi muda yang unggul secara moral dan intelektual.

Saat ini, Dompu berada di persimpangan jalan. Pilihan ini bukan sekadar soal metode pendidikan, tetapi juga tentang visi jangka panjang untuk masa depan daerah ini. Apakah Dompu mampu menjawab tantangan ini? Pendidikan bukan hanya tentang hari ini, tetapi juga tentang membangun fondasi untuk generasi yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline