Sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014, digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Rabu, 6 Agustus 2014. Lazim nya sebuah penggugatan, proses hukum dan gugatan Tim Pemenangan Prabowo/Hatta atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang dinilai tidak mampu menyelenggarakan proses Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2014 secara demokratis dan adil, tentu saja merupakan fenomena politik yang sangat penting untuk dicermati dengan seksama. Bukan saja hal ini akan berkaitan dengan kinerja KPU selaku penyelenggara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, namun secara tidak langsung, momen ini pun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengujian terhadap nilai-nilai demokrasi yang ingin kita tumbuh-kembangkan di negeri ini.
Tudingan yang menyatakan bahwa KPU tidak mampu menyelenggarakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden secara profesional, memang telah mengemuka sejak lama. Soal Daftar Pemilih misal nya, sudah jauh-jauh hari Prabowo Subianto yang kemudian tampil sebagai salah satu kandidat calon Presiden, mengingatkan agar KPU jangan terkesan "main-main" dengan Daftar Pemilih ini. Tuduhan terhadap buruk nya kinerja KPU yang seolah-olah membiarkan kecurangan berlangsung dalam penyelenggaraan Pilpres, disamping "kekopehan" nya untuk tidak mengakomodir rekomendasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), tentu saja makin memperkuat Tim Pemenangan Prabowo/Hatta melakukan gugatan hukum ke MK. Mulai 6 Agustus 2014 proses hukum mulai berjalan dan selaku warga bangsa, kita berkewajiban untuk melakukan pengawalan dengan optimal.
Sebagai Lembaga Penegakan Konstitusi, keberadaan MK mesti nya mampu tampil selaku Lembaga Tinggi Negara yang berwibawa. Lalu, sebagai Lembaga Negara yang diharapkan mampu tandang selaku benteng terakhir keadilan, harus nya mereka yang dipilih menjadi Hakim Konstitusi ini adalah orang-orang yang sudah mampu membebaskan diri dari godaan duniawi, seperti kehidupan yang hedonis mau pun sofistikasi. MK jelas tidak akan memancarkan kharisma nya, manakala Hakim Konstitusi yang ada di dalam nya, masih doyan uang suap atau pun kerlingan mata wanita penghibur. Dengan kata lain, dapat juga disampaikan, bila MK masih diisi oleh Hakim sekaliber Akil Muchtar, rasa nya sukar bagi kita guna menitipkan harapan keadilan kepada Lembaga Penegakan Konstitusi ini.
Untung, orang seperti Akil Muchtar kini sudah ketahuan belang nya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengganjar nya dengan vonis hukuman seumur hidup. Akil Muchtar terbukti banyak menerima suap dari para Calon Bupati/Walikota yang bermasalah dalam proses Pilkada nya. Yang membuat Akil Muchtar tertangkap tangan oleh KPK, sekaligus menjadikan diri nya digelandang ke KPK adalah kasus suap Bupati Lebak, Banten, yang juga menyeret mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah untuk menjadi salah satu tersangka nya. Di MK, kini sudah tidak ada Akil. Pertanyaan nya adalah apakah sekrang masih ada "Akil"2 lain ? Atau kah sudah ada penjaminan bahwa potret MK sekarang, benar-benar telah berbeda dengan masa sebelum nya ?
Beberapa hari ke depan, MK pasti akan disorot tajam oleh seluruh rakyat Indonesia dan bahkan oleh warga dunia. Para pendukung Prabowo/Hatta pasti akan melakukan pengawalan yang maksimal terhadap jalan nya proses hukum ini. Mereka tidak akan lengah dalam memantau dan mencermati nya. Oleh karena itu, mereka yang sekarang ini diberi amanah menjadi Hakim Konstitusi, diharapkan mampu tampil dengan kapasitas dan kompetensiyang disandang nya. Pengalaman mereka ketika menjadi Hakim atau pun pakar di Perguruan Tinggi, juga menjadi bekal mereka untuk mempertontonkan kepada rakyat tentang kualitas diri yang sesungguh nya. Paling tidak, mereka dapat meyakinkan publik bahwa diri nya bukanlah sosok sekualitas Akil Muchtar.
MK, memang tengah bekerja serius untuk memproses gugatan Tim Pemenangan Pasangan. Prabowo/Hatta terhadap KPU yang dianggap menciderai demokrasi dan rasa keadilan. Apa yang diharapkan rakyat, tentu akan senafas pula dengan apa yang diinginkan Tim Pemenangan Prabowo/Hatta. Kita ingin agar MK mampu bekerja "all out" dan bebas dari kepentingan sesaat. MK adalah benteng terakhir keadilan. Termasuk di dalam nya sebagai penguji demokrasi sekira nya ada praktek-praktek yang menyimpang dari konstitusi negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H