Sudah mulai larut, aku dengar keheningan di luar kamar. Tak tahu apa bulan masih ada – dua hari lalu kupergoki ia muncul besar sekali
Di kamarku musik masih ramai, entah lagunya tentang apa. Aku sendiri saja, cuma ditemani sekelompok boneka kecil; gajah, monyet, anjing, pinguin hasil buruan di pasar loak tempo hari
Tak jelas aku ingin apa, menulis pun rasanya setengah hati. Aku tak mau mengingatmu terus tapi tentucuma itu yang kulakukan. Kukenang kamu semudah menghirup udara. Seperti racun kamu merasuki aliran darah. Seperti hantu senyummu mengendap-endap tanpa suara
Apa kabar kekasih, tahukah kamu betapa rindunya aku?
Sebentar, aku harus ke kamar mandi
membuang sedikit sakit hati
Eh, di kamar mandi kudengar suara motor, seperti petasan meledakkan sunyi
Ah andai itu kamu, datang mengetuk pintu. Kubukakan dan berkata ‘kamu terlambat, tapi toh akhirnya pulang’
Aku dengar juga kokok ayam. Membuatku ingat si pangeran tua yang mengira fajar telah tiba, lalu membunuh cintanya sendiri. Sungguh bodoh
Katakan padaku
Haruskah kubunuh cinta ini dan menjadi bodoh
Atau terus menunggu kamu mengetuk pintu sedangkan fajar telah singgah berkali-kali?
Lelucon kosmik kekasih, tak bosan menjadikan kamu dan aku sebagai sasaran gurauan
Tak peduli kita merasa lucu ataukah marah
Baginya tak ada yang lebih menggelikan daripada menertawakan kita mencoba menebak nasib
Sudahlah
Sebaiknya aku tidur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H