Tulisan ini tak ingin menyalahkan pelaku, sekolah, pihak pendidikan dan kurikum. Tapi bisa jadi, kekerasan yang dilakukan siswa adalah kesalahan kita semua : para orang tua.
Setiap kali melihat beranda berita di media sosial (medsos), setiap kali pula rasa miris dan prihatin terasa. Bagaimana tidak, kejahatan bukan hanya terhadap anak, bahkan kini anak-anak telah jadi pelakunya.
Salah satu yang cukup memprihatinkan adalah kasus MAR, seorang siswa Madrasah Aliyah (MA) di Kabupaten Demak, Jawa Tengah (Jateng), yang akhirnya ditangkap pihak kepolisian usai membacok guru olahraga di sekolahnya, AFR, pada Senin (25/9/2023) sekitar pukul 21.00 WIB.
MAR ditangkap di tempat persembunyiannya, tepatnya di rumah kosong yang terletak di Desa Rowosari, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Jateng. (kompas.com 26/9/2023).
Diduga ada dendam AMR kepada sang guru ,yang merupakan gur olahraga dan wakil kesiswaan. Tugas sang guru antara lain memang mengurusi siswa bermasalah. AMR salah satu diantaranya. Pelaku juga dikabarkan kecewa karena tidak bisa ikut penilaian tengah semester (PTS) dan tidak bisa mengumpulkan tugas.
Kasus ini hanya salah satu contoh kasus yang melibatkan anak-anak. Bahkan kalau kita perhatikan banyak lagi kasus serupa. Misalnya per-bully-an antar anak yang akhirnya juga menimbulkan korban dan kasus lainnya.
Di Mana Peran Orangtua?
Berbicara tentang peran orang tua tentu sangat kompleks. Orang tua bukan hanya berperan melahirkan dan membesarkan anak-anak dengan pemberian nafkahnya.
Tapi yang terpenting adalah peran pendidikan ke anak-anak. Bahkan orang tua tentu saja, pendidik pertama bagi anak-anak sebelum mereka menerima pendidikan dari sekolah maupun lingkungannya.
Dari kasus kekerasan oleh siswa ini ada beberapa catatan yang harus kita garisbawahi khususnya peran orang tua agar anak-anak tak terjerumus dalam tindak kekerasan, baik kepada sesama anak atau kepada guru, yang seharusnya orang tua kedua bagi mereka.
Buka komunikasi seluasnya