Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Berobat di Manila

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1410826771428820458

[caption id="attachment_324193" align="aligncenter" width="438" caption="www.glasbergen.com"][/caption]

Minggu yl saya membaca artikel dari sahabat Kompasianer tentang pengalamannya berhubungan dengan  rumah sakit di Indonesia, dan kali ini saya ingin berbagi  pengalaman berobat di Manila.

Sebenarnya sakit saya biasa-biasa saja, yang karena faktur “U” sering bermasalah dengan otot dan tulang, maka pergilah saya ke dokter tulang.  Selain itu saya juga biasanya pergi ke dokter internis langganan kalau flu dan demam (Catatan: Di sini  tidak ada dokter umum, semuanya dokter spesialis).

Berikut adalah pengalaman pribadi berhubungan dengan dokter di  Manila :

1.. Dokter tulang

Saya pernah ke dokter tulang karena pundak kanan merasa ngilu sekali. Sesudah diurut dan dibalsem tetap saja sakit.

Sesudah dokter memeriksa pundak saya, si dokter menggambar dengan pensil dan menjelaskan posisi letak tulang di pundak manusia, kemudian menjelaskan agar saya tidak perlu khawatir, hanya dianjurkan saat membawa tas, jangan selalu menggunakan pundak kanan saja, namun kanan dan kiri secara bergantian. Lalu, saya diberi no HP nya kalau sewaktu-waktu memerlukannya, padahal HANYA NGILU LHO…

Selain pengalaman di atas, saya beberapa kali berobat ke dokter tulang yang lain yang super laris. Si dokter sering jadi “guru” bagi dokter tulang dari Indonesia dan beberapa kali saya ketemu dengan para asistennya tsb.  Saya ke sana karena jari saya terkena penyakit yang disebut “triggered fingers”, yaitu masalah dengan otot di jari.

Pernah saya ke dokter tulang di Jakarta, dan saking banyaknya pasien, saya harus menunggu lama, apalagi kalau dokternya mendapat panggilan untuk menangani  pasien UGD, atau harus mengoperasi pasien, si dokter akan meninggalkan tempat prakteknya.

Dokter laris saya di Manila tidak pernah meninggalkan ruang prakteknya untuk melakukan hal-hal tsb di atas dan dengan ramahnya menyapa pasien .. KOQ BISA ? Saya bertanya kepada asistennya yang dari Indonesia itu.. Ternyata, dokter yang praktek di Rumah Sakit di Filipina, BUKANLAH dokter rumah sakit, namun dokter yang menyewa tempat praktek saja, sehingga tidak diganggu oleh panggilan untuk menangani pasien di rumah sakit. (Catatan : Menurut teman saya tsb, ini bedanya dengan di Indonesia).

Kemudian, saya  dioperasi karena triggered fingers tsb, dan sebelum dioperasi saya melihat youtube tentang operasi tersebut, dan merasa sangat ngeri membayangkan kalau saya  dioperasi. Sebenarnya operasi ringan saja dan hanya sedikit sekali dibedah dan dengan anestesi local.

Pada hari H operasi, perasaan takut tetap menyergap saya. Sesudah operasi, saya tiba-tiba pusing dan keluar keringat dingin. Akhirnya dokter memberikan ruang prakteknya agar saya beristirahat, namun saya tetap pusing, akhirnya saya pingsan sebentar. Kata teman yang mengantar, si dokter tampak sangat ketakutan karena katanya bisa dituntut, padahal pingsan saya bukan karena operasi tsb, namun karena rasa ketakutan yang luar biasa.

2.. Dokter internis

Seperti saya sebutkan di atas,  kalau flu dan demam, saya biasanya pergi ke dokter internis langganan.

Setelah diperiksa, saya diberi resep untuk ditebus di apotik. Kemudian si dokter menjelaskan perihal obat tsb dan kegunaannya. Berapa jenis obatnya ? HANYA SATU.. Mana antibiotiknya ? Si dokter bingung, mungkin merasa saya koq sok menggurui “Tidak perlu”.. Beda negara, beda pengobatan, mungkin.

Dari pengalaman di atas, saya menyimpulkan bahwa :

1.. Pendekatan pribadi ke pasien sangat penting. Hanya disapa oleh dokter dan diajak ngobrol dikit, rasanya sudah sembuh. Oleh dokter tulang saya, saya dipanggil “Sister” dan kemudian diajak ngobrol tentang Jakarta, karena pernah berkunjung ke sana.. (Catatan : Ibu saya yang terjatuh dan retak tulangnya, pernah dibentak oleh seorang dokter senior “Jangan manja”, saat Ibu saya takut untuk naik ke tempat tidur sendiri, dan semoga dia satu-satunya dokter yang bertindak seperti itu ke pasien).

2.. Pentingnya penjelasan  dengan bahasa yang sederhana tentang penyakit  si pasien, seperti saat  pundak saya sakit, si dokter menggambar tulang saya.

3.. Obat hendaknya diberikan seperlunya demi kesembuhan. Seperti contoh saat saya demam dan flu, dokter tidak memberikan antibiotik.

4.. Komunikasi antara pasien dan dokter sangat penting, seperti dokter tulang saya memberikan nomor telponnya, padahal hanya pundak yang bermasalah.

5.. Sistem administrasi rumah sakit di Manila lebih “ribet” daripada di Jakarta karena setiap kali saya mendaftar ke dokter atau pun laboratorium atau bagian lain, saya diminta untuk mengisi nama, alamat dan data-data pribadi lagi, sedangkan biasanya kalau di Jakarta, tinggal menunjukkan kartu berobat saja, dan nama saya sudah terdaftar di data base rumahsakit atau dokter tsb. Hal ini karena alasan yang saya sebutkan di atas, di mana para dokter menyewa ruang praktek di rumah sakit dan tidak bekerja di rumah sakit tsb.

PASAR BEBAS ASEAN 2015 sudah di depan mata, kemungkinan  dokter-dokter asing dari Negara ASEAN berdatangan ke berbagai tempat di Indonesia, atau sebaliknya, banyak orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Jangan sampai kita tertinggal dan kalah dari mereka.

(Catatan : PASAR BEBAS ASEAN 2015 membuka peluang bagi Tenaga Kerja Asing untuk mengisi berbagai jabatan dan profesi, seperti DOKTER, pengacara, akuntan, dll).

Salam sehat .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline