Lihat ke Halaman Asli

Saat Aku Lapar, Engkau Memberi Aku Makan

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, tahun 2000 adalah tahun yang penuh tantangan untuk saya. Ibu yang bolak balik opnam di rumah sakit sampai akhirnya meninggal, saya yang jobless dan juga sakit karena syaraf kejepit dan harus opnam selama 2 minggu di rumah sakit yang sama.

Saat keluar dari rumah sakit, saya hanya berdua dengan Mbak kecil di rumah, karena Ibu saya dirawat oleh keluarga adik saya yang berjauhan rumahnya dengan saya.

Akhirnya tibalah hari Lebaran, dan Mbak kecil saya mudik ke kampung halamannya. Tinggallah saya sendiri di rumah, dan karena selama ini saya tergantung dari si Mbak, saya tidak tahu bahwa stok beras menipis. Saat Lebaran, tidak ada toko beras mau pun restoran yang buka di sekitar kompleks rumah saya. Kemudian saya menelpon adik saya untuk mengirimkan beras ke saya, namun karena kesibukannya, dia belum bisa segera meninggalkan kesibukannya untuk ke rumah saya.

Tiba-tiba saya mendengar sepeda motor berhenti di depan pagar rumah saya, dan pengemudinya memanggil-manggil nama saya. Awalnya saya tidak mengenali wajahnya yang tertutup helm, sampai  akhirnya saya tahu bahwa dia adalah suami sahabat saya yang saat itu sedang merayakan Lebaran.

Si suami diminta oleh istrinya untuk mengantarkan hidangan Lebaran lengkap ke rumah saya, karena dia tahu bahwa saya habis sakit dan pastinya sendirian di rumah. Kejadian tersebut teramat sangat lekat dalam ingatan saya sampai sekarang. Keluarga tersebut sudah melebihi keluarga sendiri sampai saat ini.

Sahabat saya yang berbeda keyakinan dan etnis dengan saya mengirimkan makanan kepada saya saat saya kelaparan. Dan ini persis seperti yang tertulis dalam  Kitab Injil (maaf saya tidak tahu persis ayat yang mana) yang intinya bahwa “saat aku lapar, engkau memberi aku makan, saat aku haus, engkau memberi aku minum”.

Si “aku” dan “engkau” bisa berbeda keyakinan, etnis, serta perbedaan-perbedaan yang lain.

Perbedaan seperti ini bukan hal baru dalam keluarga besar kami. Orangtua saya membiayai sekolah anak seorang guru; saat Lebaran tiba, kami mendapat banyak kiriman makanan enak dari para tetangga yang merayakan Lebaran. Demikian juga sebaliknya, keluarga kami mengembalikan nampan hantaran tersebut dengan kue buatan Ibu, dan banyak hal lain yang benar-benar mengajarkan kami untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan yang memperkuat hidup kami, dan bukan malah sebaliknya.

Demikian pula saat saya masih bersekolah di Sekolah Dasar Negeri (dulu di sebut Sekolah Rakyat), kalau pulang sekolah kami melewati masjid yang terletak di alun-alun kecamatan. Saya senang banget mampir di masjid tersebut, terutama saat udara panas terik, karena lantainya yang adem banget. Apakah orangtua saya melarang ? Samasekali tidak.

Artikel ini saya tulis atas keprihatinan karena masih banyak perbedaan-perbedaan yang dipolitisir, termasuk perbedaan keyakinan. Mestinya mereka yang menyebut dirinya agamawan, mendinginkan suasana, bukannya malah memanasi-manasi..

Belajarlah dari supir tram di Australia yang tindakannya ditulis oleh seorang sahabat Kompasianer (kalau tidak salah kemarin dan menjadi Headlines) yang meminta seorang penumpang turun, karena menanyakan hal yang menyinggung keyakinan seseorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline