Lihat ke Halaman Asli

Ennike Rahayu Lestari

Mahasiswa Administrasi Publik

Kisah Aira

Diperbarui: 26 Februari 2021   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Allahu Akbar ... Allahu Akbar

Suara panggilan adzan bagai sebuah magnet penggerak untuk bergegas bangkit dari tidur pulas, sejenak demi bersujud pada Sang Ilahi. Kutegakkan badan demi mencapai sedikit puncak kesadaran, setelah kesadaran itu telah penuh kudapat lantas turun bergegas mengambil wudhu di sumur belakang rumah. Tampak hutan-hutan masih gelap, penerangan yang ada hanya berasal dari obor yang berada di pinggir-pinggir rumah warga.

Suurr....

Dinginnya air membakar kantuk, penuh syukur akan nikmat dari-Nya aku masih bisa bernafas dan berdoa kepada-Nya hari ini. Masih bisa merasakan dinginnya air yang membahasahi kulit serta pori-poriku, tiba-tiba aku teringat akan sebuah ayat di dalam Al-Quran. "Lalu nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan."

Pukul 07.00 WIB seperti biasa aktivitasku menuju sekolah selalu bersama dengan teman-teman, berjalan sambil bercanda ria. Jika kalian melihat sekolahku, maka akan sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang lain. Yang biasanya bertembok semen dan beratapkan seng. Dinding sekolah kami berasal dari anyaman bambu dan atap yang terbuat dari daun-daun. Sekolahku berada di pelosok Sumatera, rute untuk mencapainya pun cukup susah karena akses jalan yang sangat belum memadai. Jika langit sedang dirundung pilu maka jalanan akan sangat becek, kadang kala kami bahkan tidak memakai sepatu karena takut merusak. Baju seragam kami juga menjadi cepat kotor.

Sering kali aku dan teman-temanku suka berkhayal bersekolah di tempat yang bagus, bersih, serta indah, dengan rak-rak buku yang menarik mata. Kelas yang ber-AC, oh tidak! Kipas angin juga cukup. Gerbang sekolah dari besi, tanaman-tanaman yang indah, dan jangan lupa dengan kantin yang setiap saat mengepulkan aroma-aroma masakan yang menggugah selera. Tiba-tiba mataku berbinar.

Sebagian besar buku dan peralatan ajar-mengajar yang berada di sekolah berasal dari sumbangan dari beberapa warga setempat dan beberapa mahasiswa. Jarak tempuh ke desa kami lumayan jauh serta jalanan yang tidak mendukung sama sekali menjadikan sebuah halangan bagi masyarakat lain untuk berkunjung, mungkinkah itu juga menjadi penghalang pemerintah untuk memperbaiki desa kami? Huuuh, sungguh iri rasanya melihat anak-anak kota itu.

"Aira, nanti kalau abis lulus SMA kau mau langsung nikah?" tanya Maimunah kepadaku.

"Apa pula kau nih Mun, aku mau kuliah dulu pokoknya!" jawabku tegas.

"Apa pula pentingnya pendidikan tuh."

"Pentinglah, Mun. Dengan pendidikan kita bisa ke mana aja, ga di sini mulu, pelosok."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline