Dunia anak pastinya dibalut oleh berbagai macam jenis permainan. Anak laki-laki identik dengan mobi-mobilan. Pun anak perempuan tak pernah lepas dengan boneka. Sepertinya fenomena itu sudah menjadi hukum adat di masyarakat sehingga dianggap tidak wajar jika seorang anak perempuan bermain mobil-mobilan dan sebaliknya. Seorang anak laki-laki bermain boneka.
Berbicara mengenai boneka yang notabene adalah sebuah permainanpenuh imajinasi dalam merangkai cerita, sebenarnya bukan hanya hadir dalam dunia anak. Di pulau Jawa danBali,generasi tua pun bisa menikmati permainan boneka.Tentunya bentuk boneka tersebut lain dari boneka dalam permainan anak-anak.
[caption id="attachment_211774" align="aligncenter" width="448" caption="contoh wayang yang siap dimainkan"]
[/caption]
Sebut saja wayang.Meskipun bukan hanya ada di Jawa dan Bali serta dengan berbagai macam jenisnya, saya akan memfokuskan tuisan ini pada wayang jawa khususnya yang berkembang di Yogyakarta. Sebagaimana yang kita tahu bahwa wayangmerupakan tontonan rakyat yang mendarahdaging. Wayangini konon hadir sebagai media dalam penyebaran agama islam oleh para Wali. Pun ada orang yang memainkan wayang sehingga penonton dapat merengkuh kenikmatan daam mengintepretasi cerita di dalamnya.Orang mengenalnya dengan sebutan dalang.
Dalang identik dengan laki-laki. Apalagi di era modernisasi yang semakin menipis pegiat wayangnya. Kita hanya menjumpai dalang-dalang tua dengan gelar “Ki” di depan nama mereka. Lalu bagaimana kalau cerita wayang dibawakan oleh kaum muda? Sepertinya dalang ciik sudah bermunculan terutamadi Kabupaten Bantul. Namun ada satulagi yang khas yaitu hadirnya dalang perempuan di wilayah tersebut.
[caption id="attachment_211775" align="aligncenter" width="336" caption="Saat Sinta menjadi dalang"]
[/caption]
Sebut saja Sinta Dewi. Seorang belia (18) yang sudah menekuni dunia pedalangan sejak kelas 3 Sekoah Dasar (SD). Bermula dari ayahnya yang notabene adalah seorang dalang. Setiap ayahnya ndalang Sinta selalu diajak . Oleh karena itu, Sinta memiliki keinginan untuk bisa mendalang seperti ayahnya. Saat itu pula sang ayah langsung membuatkan naskah dan Sinta mulai berlatih. Seminggu setelah itu Sinta mengikuti kompetisi dalang cilik. Pun dia mendapat juara 2. Sebenarnya darah seni sudah nampak dari keuarganya. Kakeknya seorang pemain ketoprak, pamannya seorang seniman tari dan ketoprak juga, begitu pula dengan tantenya yang notabene adalah seniman tari.
[caption id="attachment_211777" align="aligncenter" width="315" caption="Sinta bersama Ayahnya"]
[/caption]
Menjadi seorang dalang sebenarnya bukan merupakan cita-citanya melainkan hanya sebagai hobi. Cita-cita utamanya ingin menjadi seorang pendidik matematika. Entah dosen atau guru? Oleh karena itu, Sinta melanjutkan sekolahnya di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta jurusan pendidikan matematika. Menurutnya, budaya adalah hal yang harus dijunjung tinggi tetapi bukan lantas dijadikan profesi.
Selain hobi, Sinta memaparkan bahwa tujuan dia mendalang adalah untuk melestarikan budaya jawa yang saat ini mulai tereduksi oleh budaya luar. Apalagi perempuan yang notabene lebih suka menari daripada mendalang. Dia berkata bahwa untuk mengajak kaum muda mencintai budaya jawa bukan hanya melaui omongan tapi melalui tindakan yang dilakukan oleh kita sendiri. Kalau kita sudah bisa mencontohkan baru kita boleh mengajak mereka untuk mencintai budaya jawa. Intinya dia ingin menjadi teladan bagi kaum muda melalui karya yang dia persembahkan.
Menjadi dalang perempuan menurut sinta adalah bukan hanya eksistensi melainkan sebuah wujud emansipasi. Dalam setiap pertunjukannya dia juga selalu menyisipkan wejangan tentang emansipasi yang mana kedudukan wanita dan pria itu sama saja, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Namun menjadi seorang dalang wanita yang dia katakan sebagai wujud emansipasi tersebut bukan berarti dia merasa hebat karena posisi dalang perempuan saat ini masih jarang.
[caption id="attachment_211779" align="aligncenter" width="420" caption="sinta unjuk kebolehan penuh percaya diri"]
[/caption]
Walaupun kerap memenangkan kompetisi dalang cilik, menurutnya posisi dalang laki-laki akan tetap menjadi acuannya karena takdirnya dalang adalah laki-laki. Dalam pengungkapannya disebutkan bahwa dalang laki-laki apalagi senior dianggap menjadi guru bagi Sinta. Rasa minder sedikit menelisik ketik berada di antara para senior. Namun, dari mereka lah Sinta mendapatkan masukan untuk bisa menyelami dunia pedalangan dengan lebih baik lagi.
Pernah dalam sebuah seminar pedalangan (pemilihan naskah sebelum ditampilkan), Sinta menjadi peserta termuda dan perempuan sendiri. Dia berharap agar dalang perempuan khususnya di Yogyakarta akan semakin banyak. Selain sebagai eksistensi diri pun sebagai ajang kampanye kepada kaum muda untuk mencintai kearifan lokal yang ada.
SalamJogja Istimewa!
*foto dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H