BPOM harus bertindak tegas awasi label kemasan pada produk ini dan iklan yang masih mempersepsikan SKM sebagai susu.
Sebagian masyarakat terutama ibu-ibu masih mempersepsikan SKM/KKM (Susu Kental Manis/Krimer Kental Manis) sebagai susu. Persepsi tersebut muncul setelah mereka terpapar informasi melalui iklan maupun label pada kemasan produk tersebut. Sebanyak 73% ibu-ibu mengaku memperoleh informasi tersebut dari media massa, seperti televise dan radio.
Sisanya 27 persen mereka mendapat informasi tersebut dari petugas kesehatan, tenaga kesehatan (dokter, perawat, kader, keluarga, dan posyandu. Itu adalah angka persepsi yang cukup besar. Dan, persepsi itulah yang membuat para ibu mengambil keputusan untuk memberikan SKM/KKM kepada anaknya.
Hasil riset tentang kebiasaan konsumsi Susu Kental Manis (SKM) dan Krimer Kental Manis (KKM) terhadap kejadian gizi buruk di 3 Provinsi (kalteng, Aceh, dan Sulawesi Utara) pada September -- Oktober 2019 . Riset dilakukan oleh PP Aisyiyah bekerja sama dengan Yayasan Abipraya Insan Cendekia (Yaici).
Chaerunisa, Ketua Riset yang juga Ketua majelis kesehatan PP Aisyiyah pada Focus Group Discussion (FGD), di kantor PP Muhammadyah, 26 November 2019 menjelaskan bahwa survei ini dilakukan terhadap 2.096 responden di tiga provinisi, 9 kota dan kabupaten.
Di Aceh (Banda Aceh, Pidie, Aceh Tengah) yang menduduki peringkat prevalensi stunting tertinggi nasional, Kalimantan Tengah (Palangkaraya, Kota Waringin Timur, Barito Timur) yang menempati peringkat ke-4 stunting se-Indonesia; dan Sulawesi Utara (Bolaang Mangondow, Bolaan Magondaw Utara dan Manado).
Kriteria responden adalah ibu dengan anak usia 0-5 tahun. Pendidikan ibu-ibu SD-SMA 78,9 persen dan D1-S3 sebanyak 21,1 persen dengan pengahasilan di kisaran Rp500 ribu hingga Rp3 juta per bulan.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan design corssectional, dan teknik random sampling representative.
Iklan SKM Sebagai Susu Telah Berlangsung 146 Tahun
Ketua YAICI (Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia) Arif Hidayat memaparkan, kesalahan persepsi itu terjadi sejak SKM masuk ke Indonesia dengan brand Milkmaid pada 1873. Produk tersebut diiklankan sebagai susu yang bernutrisi hingga saat ini. Artinya sudah 146 tahun para ibu terpapar informasi SKM sebagai susu.
Pada 1967 pabrik pertama SKM dibangun di Indonesia. Lalu pada 1980, Dr. M. Dible mengeluarkan studi tentang SKM sebabkan diare dan malnutrisi pada anak. Temuan itu tak berdampak apapun pada kebijakan pemerintah terhadap SKM. Maka pada 2017, pakar gizi pun meminta Kementerian Kesehatan menerbitkan aturan tentang SKM. Dan, setahun kemudian, 2018, muncul tragedi Arisandi, balita di Kendari meninggal setelah menderita gizi buruk dan SKM berkontribusi pada penyakitnya.