Suatu hari di taman nestapa, aku memandang sehelai senyummu yang jatuh di sudut pelupuk mataku. Ada sesuap rindu dan ragu menghiasi ruang kalbumu.
Ragu-ragu aku memaknai bait-bait syair yang kau bacakan, "Kita adalah sepasang rindu dalam kepatuhan nafas semesta," begitu katamu kala itu.
Kalimat itu menyuguhkan syahdu di antara ketidakpastian dan keniscayaan Sepasang burung nur melihat cemburu pada gelak rindu yang kau senandungkan pada gesekan ranting. Malu-malu mencatat pesan sang waktu, ada tawa dan air mata.
Kini, aku masih memandang senyummu yang jatuh di kembang seruni, kulitmu yang lusuh menua bersama waktu, namun hatimu masih bijak menerjemahkan wahyu yang ditulis Tuhan untuk kita.
Karena engkaulah yang pertama kali menegur anggun nakal ulah lahir dan batinku, kaulah yang mengajariku berpikir tanpa ada syak wasangka, meninggikan derajat di mata Tuhan tanpa berbesar ungkapan, kau juga yang mengajariku berjalan dalam kebenaran abadi.
Kupinta padamu, tetaplah bersamaku, memuji dan memuja Tuhan, melantunkan doa-doa untuk buah kasih kita, sambil menunggu kedua mata kita lelah dan terpejam selamanya.
Blitar, 1 Juni 2021
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H