"Bagaimana gerakan literasi di sekolah ibu?"
"Sudah berapa buku yang diterbitkan?"
"Apakah semua guru mendukungnya?"
Yaa, itulah sederet pertanyaan yang sering saya dengar bila bertemu dengan sesama pengajar dari sekolah lain yang kebetulan sama-sama menjadi penggerak literasi.
Sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Gerakam Literasi Sekolah (GLS) melalui Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015, program budaya membaca ini disambut baik oleh lembaga pendidikan dari semua jenjang. Bahkan banyak bermunculan tim-tim penggerak literasi di luar sekolah. Baik itu memberi pelatihan menulis, aneka perlombaan menulis atau penerbitan buku.
Memang tujuan pemerintah melalui Gerakan literasi ini adalah untuk menumbuhkan minat baca dan meningkatkan keterampilan menulis peserta didik. Selain itu melalui budaya membaca ini akan meningkat pula karakter peserta didik dan pemahaman tentang wawasan kebangsaan.
Kita bisa melihat semangat literasi ini menggempita di beberapa laman media. Beberapa promosi dan iklan berseliweran di media sosial. Bahkan tidak jarang saya mendapat pesan pribadi tentang tawaran mengikuti pelatihan menulis dan menerbitkan buku bersama.
Lantas, sudah cukupkah mewujudkan budaya literasi ini dengan hanya semangat saja? Bila demikian, apa bedanya dengan kampanye, yang menebar janji dan teori. Lalu, apa saja yang diperlukan agar budaya literasi ini bisa tumbuh dan berkembang?
Bangun Komitmen Bersama
Saya yakin pembaca tidak asing dengan kata komitmen ini, bahkan mungkin kerap diucapkan dengan rekan kerja atau pasangan kita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komitmen adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu, atau suatu bentuk tangggung jawab terhadap pekerjaan yang telah dipilihnya.
Dalam sebuah organisasi, perusahaan atau lembaga pendidikan komitmen ini sangat penting. Melalui komitmen ini, pekerja atau awak organisasi akan menjalankan tanggung jawabnya dengan loyalitas yang tinggi. Dengan komitmen ini pula sebuah lembaga akan mudah mengatasi setiap masalah yang muncul.
Begitu juga dalam menerapakan program literasi, baik di sekolah maupun organisasi kepenulisan. Sebelum benar-benar melaksanakan visi dan misi yang telah ditetapkan, masing-masing pekerja harus punya komitmen yang sama. Siap melaksanakan apa yang akan menjadi keputusan bersama-sama, tanpa ada unsur kepentingan pribadi.
Karena, program pengembangan budaya literasi ini tidak cukup hanya satu atau dua hari, tidak hanya satu dan dua kegiatan. Melainkan pembiasaan yang berkelanjutan. Jadi, membangun komitmen dengan duduk bersama, bicara dari hati dan pikiran jernih sangat diperlukan untuk hasil yang maksimal.