Entah sudah berapa purnama
Aku tidak bisa menikmati teduh mata itu
Tidak bisa mendengarkan bait-bait petuah penuh makna
Tidak bisa merasakan sentuhan lembut telapak dengan aroma bunga kasturi yang tumbuh di taman hati
Masih teringat
Ketika kau memungut asaku yang tercecer di antara gelap malam
Dalam hempasan ketidaktahuanku
Tentang bagaimana cara memahami cinta alam
Tentang amarahku karena tidak pernah paham tentang sapaan hujan yang melukai tubuhku
Kau datang dengan bentangan samudera bahu ihlasmu
Untuk bersandar segala kesombongan dan kekhilafanku
Kau balut rintihan dan lara ini dengan paragraf indahmu
Hingga aku paham tentang makna pagi, embun, matahari, senja, hujan dan hangatnya malam
Hari ini,
Aku berada jauh dari haribaanmu
Menjalin masa diujung bentangan negeri ini
Namun, petuah dan kenangan itu masih selalu aku simpan dalam bilik jantungku
Agar aku bisa berjalan menapaki cita dengan hati
Kepadamu, bu guru Ani
Aku persembahkan sepotong jingga
Agar kau senantiasa bisa bersama senja
Karena aku tahu kau sangat menyukai pesonanya.
Blitar, 6 Mei 2020
Puisi ini terinspirasi dari curhatan siswa tentang rindunya belajar bersama guru di sekolah
Tulisan ini juga dimuat di Gurusiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H