"Sebaiknya ibu lebih banyak bergaul dan berkomunikasi dengan teman-teman yang lain, biar tidak diomongi orang selalu sendiri", demikian yang sering saya dengar dari teman-teman yang katanya simpati dengan karakter saya.
Apa yang dikatakan teman-teman saya itu tidak sepenuhnya salah. Saya memang lebih senang sendiri daripada berkerumun dan berbincang-bincang tanpa topik dan tujuan yang jelas. Tapi saya bukan termasuk tipe orang yang tidak suka bergaul dan menghindar kerumunan.
Hanya saja saya lebih selektif dalam berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain. Selama yang dibicarakan itu ilmu yang bermanfaat, saya senang, namun apabila banyak mengandung kemudaratan, ya lebih baik segera menarik diri dan menyendiri. Buku atau bacaan dalam gawai jauh lebih bijak sebagai teman sendiri.
Nah, rupanya karakter saya ini, dari sebagian teman-teman saya justru membuatnya prihatin dan tidak sedikit menjadikan kesendirian saya ini sebagai topik perbincangan sebagai perempuan introvert, tidak mau bergaul, angkuh, tidak mau seperti yang lain, dan sebagainya. Kenyataan ini terkadang membuat saya berpikir, apakah saya harus mengubah karakter saya, dan menjadi seperti orang lain?
Membaca tulisan ibu Muthiah Alhasany, "Soal #dirumahaja, Introvertlah Pemenangnya", yang di post pada 28 Maret 2020, membuat keyakinan saya semakin kuat bahwa saya harus tetap menjadi diri saya sendiri. Saya merasa seperti punya alasan bahwa karakter saya tidak salah dan tidak merugikan orang lain.
Melihat sosok ibu Muthiah Alhasany, dengan introvert yang melekat dalam keseharianya, bisa tetap energik, produktif, senantiasa memberi manfaat kepada orang lain, bahkan tetap bisa istiqomah bersinergi dengan Sang Maha Kholiq membuat saya semakin yakin bahwa kensendirian saya bukanlah hal yang harus saya hindari.
Saya memang belum mengenal ibu Muthiah secara fisik, namun saya merasa dekat dengan membaca tulisan-tulisannya baik itu fiksi maupun non fiksi. Ibu yang introvert, tapi justru dalam hati dan pikirannya bukan hanya dirinya, namun orang-orang lemah disekitarnya yang membutuhkan pertolongan dan petunjuk mengenal jalan menuju Tuhanya.
Saya sempat iri dengan kiprah beliau, sosok wanita yang bukan remaja lagi, namun semangatnya untuk nilai-nilai kemanusiaan masih seperti belasan tahun, selalu menggelora di dadanya. Semangat juangnya untuk memperbaiki akidah dan akhlak manusia di sekitarnya sungguh hal yang patut diteladani.
Meski hanya bisa membaca pribadinya melalui tulisan-tulisanya, namun saya bangga bisa mengenal mutiara dari Turki ini, terima kasih ibu Muthia Alhasany, melalui event menulis 10 tahun untuk ibu Muthiah Alhasany ini, saya bisa menyampaikan isi hati saya.
Saya akan tetap bangga dengan introvert yang saya sandang. Semoga ibu senantiasa diberi panjang umur dengan penuh keberkahan. Amin..
Blitar, 30 April 2020
Enik Rusmiati