Hari ini dua puluh dua desember
Masih seperti hari-hari kemarin
Tungku emak masih menjerang air mendidih bersama raganya yang ringkih
Dalam balutan hati yang tak pernah dirasakan beban perihnya
Dalam irama kasih tulus tanpa pamrih
Sebelum fajar menyapa hati kami
Tungku emak sudah siap dengan patik bara api
Hanya untuk jelaga asa buah hatimu
Yang kadang menolak nikmat buah peluh yang kau suguhkan
Yang sering enggan untuk sekadar berucapa terimakasih
Bahkan hanya sebuah tatapan saja tak kami sempatkan
Ketika cakrawala bertahta dalam kerajaanya
Emak masih memandangi tungku
Hanya untuk memastikan perut-perut kami berhenti mengeluh
Menghibur permintaan anakmu yang tak sanggup kau lunaskan
Dan itu selalu kami bayar dengan keluhan dan umpatan
Kala malam menjelang
Tungku emak masih menyimpan kehangatan
Untuk beberapa belahan jiwa
Agar tidak ada lagi lelah yang menjelma di antara kelopak-kelopak purnama
Harapmu, agar dalam mimpi pun jangan ada air mata
Karena itu adalah kesedihan buat emak
Saat malam menyelimuti senja
Saat seluruh raga telah lelap dalam balutan dingin
Tungku emak masih setia dalam pangkuanya, sembari berkata,
"Istirahatlah sejenak, esok kau harus menemaniku lagi membasuh luka dan memberi senyum kebahagiaan untuk anak-anakku, karena aku takut telapak kakiku sudah tak sanggup lagi memberi keabadian"
Blitar, 22 Desember 2019
Sekeping kenangan dari emak, yang senyumnya adalah semangat dan bahagiaku.
Semoga emak senantiasa berada di sisi-Nya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H