Terpekur sendiri menatap langit-langit kamar, sesekali ia menghela nafas berat, ada beban di sudut hatinya.
Di usianya yang mulai beranjak senja, Salikah tetap menikmati kesendiriannya, Ia belum pernah merasakan hangatnya sebuah keluarga. Walau banyak laki-laki yang mendekatinya, namun ia tak bergeming, entah karena trauma masa lalu atau mungkin karena ia belum merasa ada yang pas di hatinya. Salikah hanya pasrah menghadapi takdirnya. Sujud malam tak pernah ia tinggalkan. Bahkan puasa senin kamispun tak pernah ia lewatkan.
Sampai pada satu hari, ia bertemu dengan teman sekolahnya. Mereka saling menyapa, tanya kabar, saling bertukar nomor telepon. Tak ada yang istimewa. Semua biasa-biasa saja.
****
Seperti biasa, setelah shalat maghrib ia habiskan waktunya dengan melantunkan ayat-ayat Al qur'an. Saat itulah terdengar dering telepon genggamnya berbunyi. Bergegas ia hentikan membaca , dan menghampiri Hp yang ia letakkan di sisi tempat tidurnya.
"Assalamu'alaikum..." suara berat seorang laki-laki terdengar diujung sana.
"Wa'alaikum salam..." Salikah mencoba menjawab sambil mengernyitkan dahi. Ia mencoba mengingat suara siapa. Namun tetap saja ia tak bisa mengenali suara itu.
Kembali laki-laki di ujung sana menyapanya "masih ingat aku ?, kita ketemu di acara kemarin lho, masak lupa ?".
"Oh ya aku ingat...kamu Amir ?, eh maaf ustadz Amir ya ?", Salikah berusaha menebak si penelpon. Tapi entah mengapa ada gurat-gurat bahagia saat tahu si penelpon.
Si ustadz kembali menjawab "betul. jangan panggil aku ustadz, panggil saja aku Amir. Gimana kamu sehat ?" Amir melanjutkan pertanyaannya.
"Alhamdulillah...baik, semoga ustadz juga baik", jawab salikah dengan tersipu.
"Amiin...Ya sudah yang penting kamu baik, aku senang mendengarnya", jawab Amir