Lihat ke Halaman Asli

Enggar Murdiasih

Ibu Rumah Tangga

Ini Hanya Soal Waktu, Aay ~ bagian ke dua

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

~~ cerita sebelumnya : Meinar mengajak Ganang bertemu di sebuah restaurant. Ia ingin memberitahukan perjodohannya dengan pria pilihan orang tuanya. Sementara Ganang, sedang menantikan jawaban Meinar ~~

===oOo===

Sambil berdehem, Ganang memperbaiki letak duduknya. Dipandanginya wajah gadis di depannya itu dengan penuh sayang. Meinar terdiam, menunggu Ganang melanjutkan kalimatnya.

“Kapan ayah dan ibuku boleh datang ke rumahmu? Mereka sudah tidak sabar…”.

Meinar gelagapan. Selama ini ia belum pernah memberitahukan hubungan cintanya dengan Ganangpada kedua orang tuanya. Bukan apa apa, Meinar belum siap mendengar penolakan atau tentangan dari ayah dan ibunya.

Dipandanginya wajah Ganang. Susah payah ditahannya air matanya yang mengembun di pelupuk. Jujur, ia tak bisa menjawab pertanyaan Galang yang tiba tiba.

===== @@@@@@@@@@ =====

“Aah, apa yang harus kukatakan pada Ganang? Aku bingung….” desahnya.Secangkir coklat panas yang sejak tadi terhidang di depannya sudah mulai dingin, sesekali hanya diaduk aduknya tanpa semangat.

Ia menunggu kedatangan Ganang dengan gelisah. Sebuah pesan pendek sudah dikirimkannya pada Ganang kemarin sore. Tak ada jawaban. Ia tak tahu apakah pemuda itu akan datang ke tempat ini atau tidak.

“Hei….melamun saja. Sudah lama?” Ganang sudah berdiri di sebelahnya, sambil menepuk pundaknya perlahan. Senyumnya mengembang saat ia menarik kursi di depan Meinar. Ia duduk dengan tenang, menunggu Meinar membuka percakapan.

“Maas….” Meinar melambai ke waitress, yang segera berdiri takzim di sebelahnya.

Setelah memesan beberapa makanan kecil dan susu coklat panas kesukaan Ganang, Meinar memandangi wajah pria yang dikasihinya ini. Susah payah disembunyikannya kesedihan yang tiba tiba menyeruak di pelupuk, menjelma sebagai genangan yang siap meluncur turun tak tertahan.

“Mei?... .……..ada apa Aay? Katanya ada hal penting yang ingin kau katakan?” jemari Ganang meremas lembut, seakan memberikan kekuatan pada Meinar.

“Apa mas benar benar mencintaiku?” Meinar memandang tajam kewajah Ganang.

“Maukah mas memenuhi satuuu permintaan terakhirku?” terbata bata, dengan isak yang susah payah disembunyikan, akhirnya kalimat itu meluncur juga dari bibir Meinar.

Ganang terperangah. Ini kali kedua Meinar mempertanyakan ketulusannya, keseriusannya mencintai gadis itu. Entahlah, kali ini Ganang merasakan firasat tidak enak mulai memenuhi benaknya.

“Ada apa ini? Sudah dua kali Meinar menanyakan hal yang sama, topik yang sama……..” batinnya sedih.

“Mas Ganang…..bagaimana harus kujelaskan semua ini padamu? Kau tahu hatiku, kau tahu semua perasaanku padamu….” Meinar tersedu. Untunglah, restaurant ini tak terlalu ramai, hingga tangisan Meinar tak mencolok perhatian pengunjung yang lain.

Pria itu menggeser duduknya. Direngkuhnya Meinar ke dalam pelukannya.

“Katakan Mei….apapun itu. Aku tak sanggup melihatmu kebingungan seperti ini Aay….” bisiknya lembut.

Dua tahun masa pacaran membuat Ganang memahami bagaimana kalutnya perasaan Meinar. Dibiarkannya gadis itu menangis, menuntaskan segala gundah di hatinya. Meskipun hatinya serasa tersayat sayat, tapi Ganang tak berusaha menampakkannya di hadapan Meinar.

“Mas……” Mei tak melanjutkan kata katanya. Kebingungan nampak jelas membayang di raut wajahnya.

“Katakan saja Aay….aku siap mendengarnya”.

Setelah memperbaiki letak duduknya, Meinar mulai menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Sekuat tenaga Ganang berusaha menyembunyikan perubahan di wajahnya. Merah padam, berganti pucat pasi dan keringat dingin berbintik di keningnya.Ia tak berusaha menyela kata kata Meinar, pikirannya melayang kemana mana.

===== @@@@@@@@@@ =====

“Mei…..dengarkan kata kata bapakmu nak….” Bu Haryo mengelus kepala Meinar perlahan. Hatinya hancur luluh mendengar tangisan anak gadisnya. Ia tak bisa mengelak dari janji yang telah diucapkan oleh Haryo pada Iskandar. Kedua sahabat karib sejak muda itu telah mengikat janji akan menikahkan anak mereka berdua setelah dewasa. Bu Haryo tak menyangka bila saat yang ditakutkannya itu tiba lebih cepat dari yang disangkanya.

“Tapi Paak……Beri Meinar waktu. Biarkan ia memilih siapa yang akan menjadi suaminya….” Bu Haryo mencoba meluluhkan hati suaminya.

“Bu. Mereka sudah cukup dewasa untuk menikah. Lihat teman temannya, mereka semua sudah punya anak. Meinar saja yang masih sibuk dengan kuliahnya…” suara Pak Haryo terdengar mantap.

“Tapi ayah…….” suara Meinar tenggelam oleh isak tangisnya.

Haryo dan Iskandar, dua sahabat karib sejak SMP. Kesamaan minat dan hobby diantara keduanya membuat mereka hampir tak bisa dipisahkan. Hampir bisa dipastikan dimana ada Haryo, disitu ada pula Iskandar.

“Pokoknya, kelak kalau masing masing kita telah berumah tangga, kita jodohkan anak anak kita….” seru mereka hampir berbareng. Setelahnya, mereka saling berjabat tangan, saling memeluk, sebelum pada akhirnya mereka menaiki bus ke tempat tujuan mereka masing masing.

Haryo melanjutkan kuliahnya ke Bandung, sementara Iskandar diterima di perguruan tinggi di Surabaya. Jauhnya jarak tak menghalangi persahabatan yang sudah terjalin bertahun tahun.

**^ Bagaimanakah kelanjutan kisah Meinar dan Ganang? Bagaimana pula kelanjutan janji perjodohan kedua orang tua mereka? Nantikan kisah selanjutnya ^**

===bersambung===

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline