SAMARINDA -- Sampai saat ini, publik akan terus penasaran mengikuti kasus penembakan yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Seperti diketahui, Brigadir J tewas setelah terlibat baku tembak dengan Bharada E di rumah dinas Ferdy Sambo pada Jumat (8/7/2022) sekitar pukul 17.00 WIB.
Kasus ini menarik, karena secara nalar dan akal sehat, ada begitu banyak yang sepertinya terjadi secara kebetulan. Saat kejadian, kebetulan CCTV di rumah serta komplek perumahan itu mati. Kebetulan juga, setelah kejadian, proses pengantaran peti jenazah ke rumah duka juga ada sedikit drama, karena keluarga dilarang melihat.
Kebetulan lain lagi, konon peluru dan pistol yang digunakan juga berbeda. Boleh jadi karena itu pula, polisi tidak menunjukkan barang bukti saat jumpa pers. Masih kebetulan lagi yang lain, wartawan sempat mengalami intimidasi saat mencoba melakukan liputan di rumah kejadian.
Tentu saja, sebagai warga sipil, hanya bisa menunggu, sampai di mana perkembangan kasus ini. Tapi bukan warga plus 62 namanya jika tidak melakukan analisa. Begitu banyak analisa dan prediksi berkembang. Rumor itu bahkan cukup liar dan mencengangkan. Apalagi berkat kejadian ini, ada banyak beredar di publik terkait gaya hidup dari pimpinan Brigadir J.
Lalu bagaimana cara menguak fakta ini? Pelaku bisa saja berbohong. Saksi juga bisa berbohong. Namun, ada yang tidak akan pernah bisa berbohong yaitu pikiran bawah sadar. Jauh di dalam pikiran bawah sadar para pelaku maupun saksi kunci, saat ini sudah tersimpan data dan fakta detail terkait kejadian tersebut. Akan tetapi, untuk mengungkap ini, tidak akan bisa dilakukan hanya dengan interogasi biasa. Bahkan, disiksa sekali pun, tidak akan membuat pelaku atau saksi bisa berkata jujur.
Memaksa seseorang untuk berkata jujur, itu sama sulitnya dengan mengajak orang untuk berpindah agama atau keyakinan. Bisa, tapi tidak mudah. Ini karena kejujuran atau data dan fakta letaknya di dalam pikiran bawah sadar, dan dilindungi oleh critical factor atau faktor kritis sebagai benteng pelindung.
Berarti, benteng pelindung ini merepotkan? Tentu tidak, justru faktor kritis ini sangat diperlukan untuk melindungi berbagai prinsip dan nilai-nilai moral, spiritual, keyakinan dan pengetahuan lainnya yang sudah ditanamkan. Sebagai contoh, di dalam setiap pikiran bawah sadar, sudah sepakat bahwa bentuk bumi adalah bulat. Nah, ketika ada yang kemudian menawarkan konsep bumi datar, maka ada yang faktor kritisnya jebol, ada juga yang tetap bertahan.
Begitu juga sebuah kejujuran, untuk bisa mengungkap sebuah kejadian, yang harus ditembus adalah faktor kritisnya. Saat faktor kritis seseorang berhasil ditembus, maka data dan fakta bisa keluar dengan sendirinya.
Salah satu cara untuk menembus faktor kritis ini adalah dengan metode hipnoterapi klinis atau relaksasi atau meditasi. Sayangnya, hipnoterapi belum diakui sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Sehingga, metode ini jarang diakui dan digunakan. Tapi anehnya, metode hipnoterapi kemudian digunakan untuk membantu para korban pelecehan seksual, atau korban kekerasan lainnya, untuk menetralisasi secara kejiwaan. Andai metode ini juga dilakukan kepada para pelaku atau saksi, tentu akan lebih mudah melakukan proses pengungkapan kasus seperti ini.
Yang justru dikhawatirkan adalah, jika kemudian pelaku dan saksi kunci yang diharapkan mengungkap kebenaran, justru dilakukan proses hipnoterapi, untuk kemudian memorinya dihapus secara parsial. Tentu saja, yang melakukan adalah hipnoterapis yang melanggar kode etik, karena justru berpihak pada kejahatan. Maka, alat deteksi kebohongan pun tidak akan mudah melacak informasi yang disampaikan. Karena bagi pelaku atau saksi kunci, tidak lagi merasa berbohong. Bagi mereka kejadian itu memang tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi.