Ketika tiba-tiba muncul berita tentang hadirnya Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), tentu sebagai warga plus 62, tidak boleh kaget. Apalagi kemudian harus berprasangka yang berlebihan. Lebih-lebih menyalahkan rezim.
Sebab, siapa pun rezimnya, era sudah sangat berubah. Ketika individu tidak mau mengakui perubahan itu, tentu saja tidak akan mampu bertahan. Seperti kata Charles Darwin, yang bertahan bukanlah yang kuat. Tapi yang mampu beradaptasi dengan setiap perubahan.
Dulu, ketika profesi dokter memiliki organisasi tunggal yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), profesi lain juga sama. Seperti profesi saya sebagai wartawan, dulu hanya ada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Begitu kuatnya keberadaan PWI, sampai-sampai untuk bisa menjadi anggota PWI, ada banyak jenjang yang harus dilalui. Beruntung, saya tidak berada di zaman itu.
Saya menjadi wartawan di masa reformasi. Ketika Departemen Penerangan dihapuskan. Ketika organisasi profesi wartawan tidak lagi hanya PWI. Juga ketika UU Pers 40/1999 akhirnya lahir dan muncullah Dewan Pers. Di masa awal reformasi itu, tercatat lebih dari 100 organisasi wartawan atau jurnalis di negeri ini.
Inilah kemudian mendorong Dewan Pers yang memiliki regulasi mandiri, untuk lebih menata keberadaan organisasi ini agar lebih profesional. Hingga akhirnya, saat ini organisasi profesi wartawan yang menjadi konstituen Dewan Pers baru ada 4. Masing-masing Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).
Kembali ke profesi dokter, tentu bukan hal aneh jika kemudian dokter mendirikan organisasi profesi sejenis. Sebab negara ini menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Tengok saja profesi lain, yang tidak lagi memiliki organisasi tunggal. Guru misalnya, sekarang tidak hanya ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Begitu juga profesi seperti pengacara atau advokat yang sudah ada beberapa. Insinyur dan arsitek pun punya organisasi berbeda-beda.
Di era saat ini, tentu siapa saja tak boleh alergi dengan perubahan. Lagi pula, keberadaan organisasi tunggal yang sifatnya absolut, menjadikan gerak organisasi kurang dinamis. Sudah lumrah di sebuah organisasi profesi ada istilah senior dan junior. Kondisi ini menjadikan aspirasi atau ide baik yang boleh jadi sangat bermanfaat untuk organisasi, tidak bisa serta merta diterima.
Sebetulnya, selain persoalan organisasi, dalam dunia kedokteran ini ada hal yang lebih krusial. Tidakkah menjadi pertanyaan, kenapa lebih banyak orang berobat ke luar negeri? Ironisnya, di luar negeri itu justru ada dokter dari Indonesia yang bekerja di sana.
Belum lagi persoalan sulitnya masuk pendidikan spesialisasi dokter. Saat ini, jumlah dokter umum sudah semakin banyak. Namun, untuk bisa masuk pendidikan spesialisasi tentu tidak mudah. Salah satunya harus memiliki rekomendasi yang harga rekomendasi itu sendiri bukanlah murah. Sudah bukan rahasia umum lagi, untuk bisa jadi dokter spesialis tidak hanya diperlukan kemampuan akademik. Tapi juga harus merogoh kocek yang dalam bahkan harus jual aset. Salah satunya untuk mendapat rekomendasi itu tadi. Jika sudah begini, biaya pengobatan murah hanya akan jadi angan-angan belaka. Karena manusiawi jika ada dokter yang berharap bisa balik modal atas biaya pendidikan yang sudah dikeluarkan. Tentu ada saja dokter yang baik hati dan tidak perhitungan. Tapi jumlahnya tidaklah sebanding.
Hal ini juga yang kemudian memunculkan peluang perusahaan farmasi memberikan insentif tertentu pada para dokter yang meresepkan obatnya. Sehingga, ada saja oknum dokter yang bukan lagi murni sebagai dokter tapi tidak lebih sebagai sales obat.