Lihat ke Halaman Asli

Endro S Efendi

TERVERIFIKASI

Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Kenapa Pelayan Toko Rasis?

Diperbarui: 27 Desember 2020   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

Sebenarnya saya enggan menuliskan ini. Sebab, boleh jadi, hanya saya yang merasakannya. Sementara bagi orang lain, mungkin dianggap biasa-biasa saja. Namun entah kenapa, jika saya tidak menuliskannya, saya merasa ada yang mengganjal.

Minggu (27/12) tadi, saya ke Pakuwon Super Mall Surabaya. Tujuannya adalah ke salah satu toko stationery yang ada di mal tersebut. Maklum, anak saya yang terakhir, minta dibelikan sesuatu. Sebuah bingkai foto untuk memajang hasil karyanya.

Anak ketiga itu memang kadang tidak suka diam. Kalau sudah ingin membuat sesuatu, pasti berusaha sampai jadi. Entah sudah berapa banyak hasil karya buatan tangannya sendiri. Nah dia membutuhkan bingkai khusus untuk memajangnya. Menurut dia, bingkai yang ia cari ada di toko stationery itu.

Sebenarnya, bisa saja barang itu dibeli di cabang toko stationery itu di Samarinda. Tapi, namanya juga oleh-oleh, pasti beda rasanya. Maka saya pun tetap berupaya mencarikan, demi menyenangkan hatinya.

Setelah tanya ke petugas sekuriti, saya akhirnya berhasil menemukan lokasi toko itu. Di lantai LG, Pakuwon Mall Home. Mal itu memang begitu besar. Jika tidak biasa, akan mudah tersesat. Walau banyak penunjuk arah, paling simpel ya bertanya ke petugas.

Berputar-putar sebentar, akhirnya saya menemukan barang yang dicari. Dua bingkai foto berbeda ukuran yang ada di rak, sudah berpindah ke tangan saya. Kebetulan melintas di rak ikat pinggang, saya pun menyambar dua ikat pinggang, beda model.

Cukup dengan 4 item belanjaan, saya langsung antre di kasir. Saya lihat ada wanita setengah baya di depan saya terlayani dengan baik. Semua barang langsung dipindai, dibayar, selesai. Begitu juga pemandangan yang saya lihat sebelumnya, juga sama. Barang langsung dipindai, dibayar, selesai.

Nah, tiba giliran saya, kejanggalan itu terasa. "Kita cek harga dulu ya pak?" Saya hanya mengangguk saja. "Ini harganya 97 ribu pak," saya kembali mengangguk. "Yang ini harganya 88 ribu pak," katanya lagi. Saya masih diam saja. "Yang ini 175 ribu pak," ujarnya. Saya masih diam dan mengangguk saja.

Barang berikutnya pun dia cek. Semua barang sudah dicek, barulah dia pindai satu demi satu. Total barang belanjaan hampir 500 ribu rupiah. Saya serahkan kartu debet, dan kasir ini terlihat agak kikuk. Proses belanja selesai, saya langsung balik kanan.

Lalu apanya yang janggal? Jujur, sejak kasir berkata akan cek harga dulu, salah satu bagian diri saya ada yang berontak. Kenapa harus cek harga? Bukankah kita sudah tahu harganya, karena ada di rak. Bukankah pelanggan lain tidak dilakukan pengecekan harga. Lalu ada apa dengan diri saya? Apa karena penampilan tidak meyakinkan? Apakah karena saya bukan dari suku tertentu? Entah kenapa, hari itu saya benar-benar sedang enggan buang-buang energi untuk hal begitu. Saya memilih diam.

Namun, pikiran bawah sadar seketika melayang dan terlempar pada kejadian di masa lalu. Kejadian itu adalah ketika sedang berjalan ke Tunjungan Plaza Surabaya. Saat itu, ada toko yang menjual stiker khusus untuk hiasan di dinding rumah. Terlihat bagus, saya berencana membeli stiker itu untuk ditempel di kamar mandi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline