Alumni salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta bikin geger. Melalui rilis yang disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mantan mahasiswa berprestasi berinisial IM itu diduga telah melakukan pelecehan seksual kepada 30 wanita.
Meila Nurul Fajriah, pengacara dari LBH Yogyakarta membeberkan kasus ini secara daring pada 4 April lalu. Selanjutnya LBH ini terus menerima aduan dari para penyintas hingga sementara pelapor ada 30 orang. Mantan mahasiswa arsitektur yang lulus pada 2016 itu, kini sedang menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Melbourne dengan beasiswa pemerintah Australia.
Namun, izinkan tulisan ini bukan fokus pada IM yang diduga melakukan pelecehan seksual. Biarkan proses hukum terus berjalan. Apalagi, IM melalui tulisan tangan yang diunggah di akun Instagram-nya, siap bertanggung-jawab secara hukum jika memang ada bukti dan saksi.
Tulisan ini ingin fokus pada para penyintas. Apalagi, korban umumnya adalah para mahasiswi baru yang masih dalam masa peralihan dari SMA ke mahasiswa. Masa tersebut adalah momen pencarian jati diri dan rawan terjerumus pada hal-hal yang kurang positif.
Ketika mahasiswi mendapat perlakuan yang tidak sepatutnya, jelas akan memberikan dampak psikologis atau trauma yang sangat dalam. Jangankan pelecehan secara fisik, ungkapan tidak pantas secara verbal pun dampaknya sangat tidak baik bagi penyintas.
Dari pengalaman di ruang praktik hipnoterapi klinis yang saya lakukan, tak sedikit sumber masalah terjadi karena perlakuan yang tidak menyenangkan saat klien masih berusia remaja, bahkan anak-anak.
Sebagai contoh, pernah ada klien yang selalu berkeringat, panas dingin jika terpaksa naik angkutan umum. Dia pun mengaku tidak tahu apa penyebabnya.
Ternyata dalam proses hipnoanalisis di pikiran bawah sadarnya, klien ini pernah mengalami pelecehan dari kakak tingkatnya di kampus, di dalam angkutan kota. Sang kakak tingkat itu sengaja menggerakkan lengannya, dan tersentuh (maaf) payudara klien ini. Setelah trauma itu dibereskan, klien akhirnya bisa merasa nyaman setiap kali naik angkutan umum
Melihat fakta banyaknya penyintas dari IM yang mengalami kejadian tidak menyenangkan, kuat dugaan para penyintas itu mengalami trauma. Tengok saja perlakuan yang mereka dapatkan. Dari mulai pernyataan verbal menjurus ke hubungan seks, sampai perlakuan fisik seperti dipeluk atau dipaksa untuk dicium.
Ada yang mengatakan, kalau memang tidak suka, kenapa tidak melawan? Harus diingat bahwa semua kejadian itu berlangsung sangat cepat dan singkat. Penyintas tentu tidak mengira, karena pesona IM begitu moncer. Pria ini memiliki predikat mahasiswa berprestasi. Bagi mahasiswi baru, predikat IM itu jelas menjadi modal figur otoritas yang cukup kuat.
Melalui figur otoritas yang kuat itulah, dengan mudah IM bisa menembus pikiran bawah sadar penyintas tanpa penolakan. Korban tak bisa berbuat apa-apa. Sementara pelaku menganggap, si korban 'menikmati' atau menerima perlakuan tersebut. Pelaku pun tidak merasa bersalah, karena semua dianggap dilakukan secara suka sama suka.