May Day alias hari buruh yang diperingati setiap 1 Mei, umumnya diwarnai dengan aksi demo atau unjuk rasa. Aksi turun ke jalan itu biasanya disertai dengan tuntutan-tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh. Namun, dalam kondisi perekonomian nasional yang sedang tidak menggembirakan ini, masih perlukan aksi demo buruh? Perlu tidaknya tentu relatif. Bagi para aktivis yang memperjuangkan hak para buruh, jelas aksi tahunan ini sangat penting. Ini adalah momen agar aspirasi dan tuntutannya didengarkan oleh pemerintah.
Pemerintah pun sepertinya lebih cerdas. Bertepatan dengan hari buruh, kini dijadikan libur nasional. Alih-alih ingin menjadikan momen hari buruh untuk memperjuangkan nasibnya, tak sedikit pula yang memanfaatkan momen ini untuk berlibur. Sementara bagi yang melakukan aksi, tidak bisa menemui pihak pemerintah karena kantor tutup, tanggal merah. Kalau sudah seperti ini, masih efektifkah aksi turun ke jalan?
Betapa banyak orang yang energinya habis untuk mengeluh. Membuang waktu berjam-jam secara percuma, hanya untuk meratapi nasib dan menyalahkan orang lain. Ada juga yang berusaha mencari jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Padahal, jalan keluar itu harus dibuka dari dalam. Kunci atas jalan keluar itu harus dibuka dari dalam, dari dirinya sendiri.
Kebijakan pemerintah memang dibutuhkan untuk menaikkan kesejahteraan buruh. Namun, yang paling utama adalah bagaimana jika setiap buruh mampu mengembangkan dirinya sendiri. Caranya bagaimana? Cara yang paling efektif untuk meningkatkan kapasitas diri adalah dengan memperbanyak rasa syukur.
Dalam setiap kesempatan, tak sedikit para pemuka agama, ulama, pembicara, motivator dan termasuk para guru, menyarankan agar setiap individu hendaknya selalu bersyukur. Bersyukur atas berkah yang sudah diberikan Allah, Sang Maha Pencipta, adalah satu dari sekian banyak amalan yang perlu dilakukan setiap saat.
Di dalam Alquran pun sudah disebutkan, sebaik-baiknya umat manusia adalah mereka yang pandai bersyukur. Bahkan disebutkan pula, barangsiapa yang bersyukur, maka nikmatnya akan ditambah. Energi dari bersyukur jelas sangat positif ketimbang mengeluh. Lantas, bagaimana cara bersyukur yang tepat?
Setiap individu pasti memiliki cara tersendiri dalam mensyukuri nikmat yang sudah diberikan Sang Maha Pemberi Rezeki. Namun ternyata cara bersyukur yang baik adalah, bekerja lagi dengan lebih baik. Itulah kenapa nikmat yang diberikan bisa semakin ditambah. Karena dengan bekerja lebih baik, tentu yang dihasilkan juga akan semakin meningkat.
Kenapa demikian? Kalau hanya bersyukur melalui lisan, anak kecil juga bisa. Jika hanya sekadar mengucapkan 'alhamdulillah' atau puji Tuhan, semua orang juga bisa. Di sebuah workshop Quantum Life Transformation (QLT) yang pernah saya ikuti, dibimbing pakar teknologi pikiran Adi W. Gunawan, persoalan syukur ini juga mendapat penekanan tersendiri.
Dalam prinsip sukses yang dibeber melalui pelatihan tersebut, syukur menempati posisi ketiga setelah impian dan yakin. Artinya, mereka yang ingin meraih sukses, tidak ada pilihan lain, harus bersyukur. Cara bersyukur yang baik adalah, bekerja lagi lebih giat dan lebih rajin. Dua prinsip sukses lainnya adalah pasrah, dan doa. Ternyata, doa yang terbaik adalah kembali ke prinsip ketiga yakni syukur.
Setiap kali berdoa, umumnya umat fokus pada apa yang diminta. Memang benar, Allah yang Maha Kuasa, menyampaikan bahwa siapa yang meminta akan diberi. Namun bukankah Allah juga menyebutkan seperti di atas tadi, bahwa siapa yang bersyukur, nikmatnya akan ditambah. Mau pilih mana, sekadar diberi atau ditambah?
Jika doa hanya fokus pada yang diminta, umumnya justru akan timbul buruk sangka kepada Allah. Menganggap Sang Maha Pencipta tidak sayang dan tidak cinta pada umatnya, hanya karena apa yang diminta tak kunjung dikabulkan. Akibatnya, umat menjadi kufur nikmat, dan mengabaikan apa saja yang sudah diberikan oleh Sang Pemberi Hidup. Bukankah setiap helaan nafas yang bisa dihirup saat ini juga merupakan rezeki dan pemberian Yang Maha Kuasa?