Lihat ke Halaman Asli

Endro S Efendi

TERVERIFIKASI

Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

91,23 Persen Guru Setuju Penerapan Syariat Islam

Diperbarui: 29 Maret 2019   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setyo Pranowo (tengah) dok BNPT

BALIKPAPAN -- Hoak alias warta dusta sudah menjadi salah satu musuh besar di negeri ini. Selain membuat keresahan publik, juga berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Atas alasan itulah, Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltim menggelar acara Rembuk Aparatur Kelurahan dan Desa Tentang Literasi Informasi di Hotel Grand Tjokro Balikpapan, (28/3).

Acara bertema Saring Sebelum Sharing itu mengajak para aparatur kelurahan dan desa, termasuk aparat Babinsa dan Babinkamtibmas agar semakin waspada terhadap kabar dusta.

Acara Rembuk tersebut dibuka Asisten Tata Pemerintahan Pemkot Balikpapan Syaiful Bahri. Syaiful menyampaikan, menyambut baik kegiatan yang dilakukan BNPT dan FKPT Kaltim di Balikpapan. "Terorisme menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia sehingga patut diwaspadai secara sungguh-sungguh," tuturnya.

Pihaknya juga menyampaikan keprihatinan atas kasus terorisme yang terjadi di Selandia Baru, dan berharap masyarakat benar-benar melakukan saring sebelum sharing. "Mudah-mudahan kegiatan bisa menjadi perenungan bersama, sehingga aksi radikalisme dan terorisme bisa dihadapi bersama," ujarnya.

Sementara Kepala Seksi Partisipasi Masyarakat BNPT Letkol Setyo Pranowo menyampaikan, terorisme menjadi ancaman nyata bagi keutuhan NKRI. Hal tersebut tergambar dari hasil survei nasional tentang daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme dan terorisme yang dilaksanakan BNPT 2017 dan 2018 dengan skor rata-rata 42,58 yang masuk kategori sedang.

Lebih lengkap Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta juga mengadakan survei radikalisme dan terorisme di Indonesia. Hasilnya, dari 2.237 responden yang merupakan guru ASN dan non-ASN, 91,23 persen setuju penerapan syariat Islam dalam bernegara. Data lain, 37,71 persen beranggapan jihad adalah qital terutama pada non-muslim. Selain itu 37,71 persen juga menilai aksi bom bunuh diri merupakan jihad Islam. Ada pula 61,92 persen sependapat dengan sistem kekhalifahan merupakan bentuk pemerintahan yang diakui dalam Islam.

"Situasi ini patut diwaspadai bersama, bermula dari sikap antikeberagaman tersebut akan lahir intoleransi yang apabila tidak dikelola dengan baik akan memantik lahirnya radikalisme dalam beragama dan aksi terorisme," bebernya.

Potensi radikalisme dan terorisme terjadi karena faktor kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan literasi bagi masyarakat. Disrupsi informasi menjadikan masyarakat yang tidak siap menjadi gagap, sehingga kesulitan membedakan mana informasi benar dan mana yang tidak benar. "Apalagi masyarakat kadang latah, membagikan informasi tanpa penyaringan," ujarnya.

Seperti kerusuhan di Mako Brimob 2018 lalu misalnya, situasi genting hanya terjadi di dalam Lapas, namun gambaran mencekam menyebar luas dan merasahkan publik. Untuk itu masyarakat dan seluruh aparat keamanan serta aparat kelurahan desa bersama-sama mengantisipasi terjadinya penyebaran informasi yang meresahkan tersebut.      

Dalam acara rembuk tersebut, menghadirkan narasumber Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim Endro S Efendi yang juga ketua Bidang Media Massa Hukum dan Humas FKPT Kaltim. Juga staf Ahli Dewan Pers P Hasudungan Sirait yang mengajarkan bagaimana menjadi pembicara publik yang profesional. Sehingga diharapkan aparat desa dan kelurahan bisa memberikan informasi yang jelas dan gamblang kepada masyarakat. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline