Di tengah kabar duka dan bencana memenuhi linimasa media sosial, akhirnya ada tawa yang menyeruak di tengah beranda alam maya. Apalagi kalau bukan terungkapnya kebohongan aktivis Ratna Sarumpaet.
Saat pengguna media sosial sedang sibuk memastikan apakah video Gunung Soputan yang erupsi itu benar atau hoax, ternyata sang aktivis perempuan itu sudah nyata-nyata menyebarkan warta dusta. Ratna akhirnya meminta maaf ke banyak pihak, termasuk ke pihak yang selama ini dikritiknya.
"Saya juga meminta maaf kepada semua pihak yang selama ini mungkin dengan suara keras saya kritik dan kali ini berbalik ke saya. Kali ini saya pencipta hoaks terbaik ternyata, menghebohkan semua negeri. Mari kita semua mengambil pelajaran, bangsa kita dalam keadaan tidak baik. Segala sesuatu yang kita hebohkan segala sesuatu yang tidak penting mari kita hentikan," kata Ratna Sarumpaet dalam jumpa pers, Rabu (3/10/2018) seperti dilansir detik.com.
Ratna mengaku berbohong soal penganiayaan dirinya saat bertemu sejumlah orang di antaranya Prabowo Subianto, Fadli Zon dan Amien Rais. Dia meminta maaf karena sudah menciptakan kegaduhan terkait kabar penganiayaan.
Lantas, mengapa Ratna Sarumpaet harus melakukan kebohongan? Sebagai praktisi hipnoterapi, kasus bohong memang cukup menarik. Bahkan klien yang sedang menjalani proses hipnoterapi ada saja yang mengawalinya dengan sebuah kebohongan. Saat sudah yakin dan mantap ingin menjalani terapi, barulah mengatakan kondisinya yang sesungguhnya.
Saat ini, bohong seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan publik. Penelitian menunjukkan kebanyakan orang tidak mengetahui saat mereka dibohongi. Seperti halnya jutaan penduduk Indonesia yang sudah dibohongi Ratna Sarumpaet yang sebelumnya mengaku jadi korban pemulukan. Ternyata, pemukulan itu hanya khayalan, karena kejadian sesungguhnya sang nenek ini baru saja operasi plastik.
Dalam penelitian jurnal Psychological Science diungkapkan, peluang mendeteksi kebohongan adalah 50/50. Namun, yang lebih 'ahli' dalam mendeteksi kebohongan adalah pikiran bawah sadar. Kenapa? Karena pikiran bawah sadar sangat jujur, menyampaikan data dan fakta apa adanya.
Itu sebabnya, dalam kelas hipnoterapi klinis yang pernah saya ikuti di Adi W. Gunawan Institute di Surabaya, diajarkan pula bagaimana tubuh seseorang yang faktanya sulit berbohong.
Sedikit merunut ke belakang, medio 2016 silam, seorang siswi kelas V di salah satu SD di Bontang mengaku menjadi korban penculikan. Dengan rinci murid itu menceritakan dirinya sempat disekap satu jam olehpara pelaku di salah satu rumah. Dikatakan, komplotan penculik ada empat orang, satu di antaranya perempuan, menggunakan sebuah mobil warna hijau bertuliskan Jeep.
Siswi SD ini kemudian mengaku ditarik masuk mobil dan matanya ditutup kemudian dibawa ke sebuah rumah. Di tempat tersebut, korban kemudian diikat dengan tali. Sementara para pelaku pergi meninggalkan korban.
Siswi ini berhasil meloloskan diri dengan cara memotong tali pengikat dengan menggunakan sebilah pisau yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya diikat. Kemudian bergegas kabur dari tempat tersebut, lalu naik angkutan umum dan pulang ke rumahnya.