"Paling enak zaman Soeharto. Dulu, kalau membahas undang-undang dan tidak ada titik temu di antara fraksi, tinggal menghadap Soeharto. Apa pun kata pak Harto, ya semua ikut. Tidak ada yang berani membantah Pak Harto," sebut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, saat menjadi pembicara pembuka dalam Seminar PPRA LVII Lemhannas RI, Kamis (13/9) di Gedung Lemhannas RI Jakarta. Tjahjo menyampaikan hal itu bukan berarti ingin mengajak kembali ke era itu, namun hanya untuk membandingkan betapa dinamika politik saat ini sangat berbeda jauh dengan kondisi di era orde baru tersebut.
Dalam seminar berjudul "Penataan Partai Politik untuk Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia" itu, Mendagri menggambarkan betapa dinamika demokrasi di Indonesia begitu pesat. Mendagri berharap seminar ini bisa melahirkan pemikiran bagaimana membangun sistem pemerintahan presidensial yang lebih efektif dan efisien.
Menurutnya, tema seminar ini memerlukan perenungan sangat dalam. "Zaman dulu, yang selalu menjadi rujukan adalah seminar TNI AD, sebagai proses konsolidasi di era Soeharto. Sementara Lemhannas dibentuk di era Bung Karno diharapkan mampu melahirkan calon pimpinan yang punya wawasan komperhensif dan integral. Tapi juga tergantung garis tangan," sebut Tjahjo yang juga pernah menempuh pendidikan di Lemhannas tersebut.
Membangun sistem tata kelola pemerintahan dan politik tidak mudah. Semua harus mencermati gelagat atau format yang tepat untuk demokrasi, misalnya di Papua. "Antara Lemhannas, Wantannas, LIPI. Forum Rektor, hingga perguruan tinggi, tidak ada kesimpulan yang sama. Apalagi bicara sistem pemerintahan," bebernya.
Contoh lain, keinginan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang berharap Angkatan Laut bisa berada di bawah kendalinya, supaya bisa menembak kapal pencuri ikan. Hal tersebut tentunya tidak bisa dilakukan. Sebab harus ada sistem pemerintahan yang jelas dan tegas.
Sementara itu, Pilkada serentak di Indonesia menurut Tjahjo sudah berjalan dengan baik dan aman. "Meski sempat ada pernak-pernik misalnya di Kalimantan Utara juga Kalimantan Tengah," katanya.
Ia menyampaikan, penduduk di Kaltara hanya 800 ribu, sementara pemilih tidak sampai sampai 400 ribu. Masih kalah dengan penduduk Kabupaten Bogor 2 juta penduduk, namun dinamika politiknya juga tinggi. Begitu juga dinamika politik daerah lain. Semuanya, menurut Mendagri adalah hal lumrah.
Ia juga menggambarkan, di masa lalu bahkan perolehan suara 3 partai, bisa diatur sejak setahun sebelum Pemilu. Saat ini, di era reformasi, dinamika politik Indonesia pun tak kalah menarik, ketika calon tunggal kalah dengan kotak kosong. "Apresiasi buat TNI dan Polri yang bisa mengawal Pemilu dengan damai. Di pelosok dan ujung pulau pun aman," katanya.
Dikatakan, partisipasi politik masyarakat saat ini meningkat menjadi 74 persen. Harapannya dalam pemilihan presiden 2019 mendatang partisipasi politik masyarakat juga ada peningkatan. "Amerika, Australia dan Singapura masih rendah. Indonesia sudah lebih tinggi sejak dilakukan pilkada serentak," katanya.
Tjahjo juga mengajak masyarakat untuk menolak politik uang, apa pun bentuknya. "Walau ngga bisa dibuktikan. Semua calon lebih baik adu konsep dan adu gagasan. Tidak saling hujat," sambungnya. Dijelaskan, sistem deteksi dini saat ini perlu semakin digerakkan di Indonesia dengan baik dalam rangka keutuhan negara ini.
"Pileg dan pilpres saya yakin aman saja. Ribut di media sosial itu biasa. Sekat partai tidak ada. Sekat fraksi pun tidak ada. Makanya sampai ada korupsi berjamaah. Namun deteksi dini tetap harus dilakukan," bebernya.