Tak ada satu pun negara aman dari ancaman terorisme. Begitu pula di Indonesia, tak ada satu pun provinsi yang bebas dari kemungkinan terorisme. Pendapat itu disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Komjen Pol Suhardi Alius saat berbicara di depan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LVII Lemhannas RI, Selasa (10/4/2018).
Ideologi dan jaringan terorisme di seluruh dunia terus berkembang dan di Indonesia kian sulit terdeteksi maka upaya pencegahan terorisme berbasis masyarakat atau lokalitas sangat penting. Meski demikian hal itu tidak mudah karena terorisme memiliki karakter internasional, global dan pada umumnya melalui jaringan sel bukan organisasi yang transparan. Tulisan ini merupakan refleksi pribadi yang ditujukan untuk memberikan kontribusi bagi upaya bersama pencegahan terorisme.
Sebagian ahli, seperti Mark Juergensmeyer mengidentikkan antara teorisme dan kekerasan bagi mereka yang tersisih dari kekuasaan dan menginginkan bagian dengan merebut kekuasaan tersebut melalui berbagai cara termasuk kekerasan (separatisme). Namun, kini, kelompok kekerasan yang berbasis agama itu cenderung sulit diidentifikasi dan bersifat global.
Kekerasan ideologis dan sistematis itu sendiri sesungguhnya bukan hal baru. Di masa lalu kekerasan dicerminkan oleh tumbuhnya ideologi yang tertutup seperti nasionalisme dalam kasus nazisme di Jerman dan Komunisme di Uni Soviet yang berakar pada fasisme. Kekerasan juga terjadi pada kelompok-kelompok separatisme yang menginginkan bagian atau merebut kekuasaan terhadap daerah tertentu yang mereka klaim sebagai hak mereka.
Namun kini terorisme berbasis keyakinan agama bersifat global. Meskipun dalam retorika mengarah pada kelompok tertentu seperti Barat, Amerika, Kristen, Yahudi, Sekularisme dan lain-lain tetapi lokasi kekerasan nyatanya terjadi dimana saja. Tentu terorisme agama ini tidak hanya terjadi pada satu agama melainkan hampir semua agama. Sebagian orang menyebut terorisme agama ini sebagai religious nationalism.
Di Indonesia juga rasanya baru saja masyarakat ibu kota menghela nafas lega setelah beberapa lama, sejak bom Thamrin Jakarta, bom Kampung Melayu Jakarta kembali menghebohkan Ibu Kota. Praktis satu tahun empat bulan, sejak terror bom Thamrin Jakarta, 14 Januari 2016 lalu, masyarakat Ibu Kota kembali dipertontonkan ideologi kekerasan bom bunuh diri Kampung Melayu Jakarta 24 Mei 2017, yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan luka-luka dikalangan aparat kepolisian maupun masyarakat umum.
Terorisme akan selalu menjadi ancaman serius. Untuk menghadapinya pun harus dilakukan secara serius. Sebagian masyarakat mungkin tak menyadari bahwa mereka terus melancarkan propagandanya karena tak terlihat secara kasat mata. Akan tetapi, kalau kita mau telusuri, ideologi dan paham radikal ini terus merasuk ke ruang publik bahkan mungkin telah mencoba menyusup mengarah ke anggota keluarga kita.
Gerakan terorisme memang tidak bisa dianggap enteng. Agama pun hanya dijadikan 'bungkus' dalam setiap aksi tindakannya. Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius di hadapan peserta PPRA LVII Lemhannas pun menegaskan tidak setuju bahwa terorisme selalu berhubungan dengan agama Islam. Nyatanya Di negara lain yang bukan Islam, juga ada aksi terorisme.
Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, tentu ketahanan nasional akan sangat terancam. Masyarakat mau tidak mau harus diberikan pemahaman sekaligus diberikan pengertian bagaimana cara mencegah aksi terorisme ini agar tidak terus bergulir bak bola salju. Kepedulian masyarakat memang sangat menentukan. Fakta membuktikan, Juanda alias Kendo yang merupakan pelaku bom di Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda -- Kalimantan Timur, sebelumnya merupakan mantan narapidana aksi terorisme yang tidak diterima keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Akibatnya, merasa dikucilkan dan kembali melakukan tindakan terorisme.
Guna mereduksi sekaligus mencegah aksi terorisme dan radikalime ini pula, Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di setiap provinsi di Indonesia. Forum berbasis kekuatan masyarakat ini diharapkan bisa menjadi kepanjangan tangan BNPT guna mencegah aksi terorisme dan radikalisme yang berpotensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dasar pembentukan FKPT yakni Peraturan Presiden No. 46 tahun 2010 sebagaimana telah direvisi melalui Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme di Daerah.