Lihat ke Halaman Asli

Endro S Efendi

TERVERIFIKASI

Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Acil Imas dan Teman Ahok

Diperbarui: 12 Maret 2016   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Jakarta itu masih membutuhkan pemimpin seperti Ahok. Lihat aja. Selama Ahok yang memimpin, Jakarta lebih teratur. Tanah Abang yang dulu semerawut, sekarang lebih rapi. Lokalisasi Kalijodo aja ditutup,” ujar si Anang Labu serius. Gaya bicaranya tak jauh beda dengan para pengamat yang sering muncul di televisi berita.

“Seandainya dia yang jadi Wali Kota Samarinda, pasti tidak akan semerawut seperti sekarang. Parkir liar dan pedagang kaki lima di mana-mana. Belum lagi gelandangan dan pengemis, termasuk anak jalanan. Parah banget kan?” sambungnya, disusul dengan menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin di warung Acil Imas, ‘kafe’ langganannya yang terletak di ujung gang, tak jauh dari tempat dia tinggal.  

“Sori bro. Apa pun alasannya, Ahok itu kafir. Orang kafir itu ngga boleh menjadi pemimpin. Itu sudah jelas di kitab suci,” tegas Palui tak mau kalah.

“Astaga, Lui. Sudah berapa lama Jakarta dipimpin sama orang yang bukan kafir? Hasilnya mana? Dulu malah sempat banyak tempat judi, banyak tempat prostitusi. Ini masalahnya bukan soal agama. Jangan bawa-bawa agama Lui. Yang dibutuhkan sekarang ini pemimpin daerah, pemimpin wilayah. Bukan memilih pemimpin agama,” balas Anang Labu lebih ngotot. Kali ini dia sampai bangkit dari tempat duduknya, untuk meyakinkan si Palui.

“Terserah kamu mau ngomong apa Nang. Yang pasti, aku setuju dengan ormas-ormas yang menentang Ahok jadi gubernur. Dia itu arogan. Ngomongnya kasar. Pemimpin ngga boleh seperti itu,” balas Palui tak mau kalah.

“Justru Jakarta butuh yang begini. Sudah banyak gubernur sebelumnya yang terlalu sering memberikan toleransi. Terlalu sering memberikan peringatan, arahan, sampai edukasi. Lui, yang dibutuhkan sekarang ini sudah bukan lagi edukasi. Aturan selama ini sudah ada. Tinggal penegakannya. Karena itu, yang dibutuhkan sekarang bukan lagi pemimpin yang sekadar memberi edukasi, tapi berani melakukan eksekusi. Perlu tindakan nyata!” Volume suara Anang kali ini bahkan lebih nyaring. Palui pun sampai harus menutupi wajahnya dengan telapak tangan kanannya. Maklum, ada sedikit ‘kuah’ yang sayup sayup keluar dari mulut Anang karena terlalu bersemangat.

“Biar aja ikam ngomong apa Nang. Yang penting aku sudah daftar, gabung jadi relawan Teman Ahok. Tadi aku sudah ikuti di Facebook. Kamu lihat aja nanti, Ahok masih dibutuhkan. Warga Jakarta sudah cerdas. Yang mereka butuhkan itu pemimpin Jakarta, bukan pemimpin agama. Ingat itu bro,” Palui rupanya tak bisa juga menahan emosinya. Dia pun sampai bangkit dari bangku panjang di depan warung, yang ia duduki bersama Anang.

“Alaah, sudah-sudah. Kalian berdua ini ribuut aja. Kalau mau ribut jangan di sini. Sana di lapangan sana. Ini warung. Kalau kalian ribut, nanti ngga ada yang mau mampir ke warungku. Kalau warung ini sepi, mau kalian menanggung kerugian? Lagian, kalian berdua ini aneh. Ini Samarinda, Kaltim. Ngapain juga ngurusin gubernurnya Jakarta. Habis-habisin energi urus daerah orang. Lebih baik ikut mikir, gimana Samarinda maju. Kalian ini, kerja aja ngga. Bisanya cuma debat ngga jelas. Ingat ya, hari ini ngga boleh ngutang lagi,” mulut Acil Imas terus menyerocos seperti senapan otomatis yang menembakkan peluru bertubi-tubi.

Palui dan Anang Labu hanya diam. Keduanya saling berpandangan sambil menggaruk kepala meski tidak gatal.  Keduanya kembali menyeruput kopinya, sementara si Acil Imas melengos kembali sibuk dengan kompornya.

Obrolan seperti di warung Acil Imas di atas, saat ini mudah sekali dijumpai. Baik di warung kopi, forum diskusi resmi, di televisi, bahkan tak kalah serunya di media maya. Kelompok yang pro-Ahok, akan terus memberikan alasan kenapa memilih mantan wakil gubernur Jakarta yang sebelumnya mendampingi Joko Widodo ini. Sebaliknya, mereka yang tidak suka dengan Ahok, juga mengirimkan serangan di belantara maya dengan berbagai cara. Dari mulai dari sisi agama, hingga etnis yang dianggap minoritas namun selama ini menguasai semua sendi ekonomi.

Padahal, kalau boleh jujur, etnis ini menguasai ekonomi bukan karena pilihan, namun karena keadaan. Bukankah di masa lalu, etnis ini memang dibatasi ruang geraknya. Tidak boleh jadi pegawai negeri, hingga tidak boleh jadi tentara dan polisi. Peluang yang tersisa ketika itu hanya jadi atlet atau jadi pedagang. Adalah wajar jika karena keadaan itu, akhirnya etnis ini pun bisa eksis di bidang ini, meski awalnya hanya sekadar bertahan hidup. Akan tetapi, pendapat seperti ini pun masih bisa dibantah. Tentu ada argumen lain lagi yang bisa mematahkan apa yang saya tuliskan di atas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline