Lihat ke Halaman Asli

Endro S Efendi

TERVERIFIKASI

Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Gafatar dan Pikiran Bawah Sadar

Diperbarui: 21 Januari 2016   23:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belakangan ini, muncul fenomena orang hilang. Uniknya, mereka yang hilang ini tak bisa dikatakan orang biasa-biasa saja. Bahkan seorang dokter yang dianggap memiliki pemikiran lebih tinggi, nyatanya juga ikut ‘hilang’ dan terseret untuk bergabung dengan organisasi yang meresahkan, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). 

Organisasi diduga jelmaan Al Qiyadah Al Islamiyah bentukan Ahmad Musadeq yang pernah menjalani hukuman karena menyebarkan aliran sesat ini, ternyata tumbuh dengan subur di beberapa wilayah di Kalimantan. Lahan yang luas dan sulitnya akses, membuat pulau ini dianggap tempat yang aman untuk terus memperbesar organisasi ini.

Lantas, apa yang menjadi penyebab seseorang mudah tergiur dan masuk dalam sebuah perkumpulan, walau kemudian dianggap menyebarkan ajaran yang menyimpang?

Dalam dunia teknologi pikiran yang sedang saya geluti saat ini, ada lima cara untuk bisa menembus pikiran bawah sadar seseorang. Pertama, pesan yang disampaikan oleh seseorang dengan figur otoritas yang tinggi. Kedua, ide dengan muatan emosi yang tinggi. Ketiga, repetisi ide. Keempat adalah identifikasi kelompok, dan terakhir kelima adalah dengan relaksasi pikiran.

Baiklah, kita coba bahas satu demi satu lima cara untuk menembus pikiran bawah sadar tersebut.

Pertama, pesan yang disampaikan seseorang dengan figur otoritas tinggi. Dari sisi ini, bisa terlihat bahwa organisasi ini mencoba merangkul beberapa tokoh yang berpengaruh, sehingga mempermudah dalam proses rekrutmen anggota. Tak tanggung-tanggung, seorang Bibit Samad Rianto yang pernah menjadi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didapuk menjadi

Ketua Dewan Pembina Gafatar. Meski kemudian mengundurkan diri, namun hal ini dianggap sebagai salah satu simbol bahwa organisasi ini resmi dan terpercaya.

Dengan adanya figur dengan otoritas tinggi, maka pikiran bawah sadar seseorang, yang cerdas sekali pun, akan mudah ditembus dan dengan mudah menerima organisasi ini.

Di Indonesia tentu banyak sekali figur dengan otoritas tinggi. Dalam contoh kasus ini, saya menitik-beratkan pada para ulama atau pemuka agama. Sudahkah para pemuka agama benar-benar merangkul dan mengayomi umatnya?

Jika seorang Ahmad Musadeq dengan mudah mendapatkan pengikut, lantas kenapa para pemuka agama tidak bisa melakukan hal yang sama? Salah satu yang perlu menjadi perhatian adalah, tak sedikit pemuka agama yang menjelma menjadi pesohor atau artis, sehingga semakin jauh dengan umatnya.

Mereka yang sering muncul dan tampil di televisi, sejatinya adalah figur dengan otoritas yang tinggi. Namun, mereka semakin jauh dengan umat. Untuk bisa mendatangkan pemuka agama yang seperti ini, perlu biaya tidak sedikit. Semua bahkan sudah ada standar khusus yang harus dipenuhi. Kalau sudah seperti ini, wajar jika umat merasa dijauhi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline