Kasus
"Terhadap pasien yang diduga (Suspek) Covid 19, dokter memutuskan untuk melakukan pemeriksaan Rapid dan hasilnya reaktif. Berdasarkan hasil Rapid Test tersebut, Dokter memutuskan untuk melakukan pemeriksaan Swab. Tetapi pasien menolak walau sudah mendapat penjelasan lengkap, memadai dan berkali-kali."
Situasi semacam itu sering dihadapi oleh dokter di era pandemi. Dokter dihadapkan pada sebuah dilema, antara kewajiban menjalankan Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Protokol Covid-19) dengan kewajiban menghormati hak otonomi pasien. Menolak pemeriksaan adalah hak pasien yang dilindungi oleh undang-undang. Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan, "Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap." Di sisi lain, pemeriksaan Swab merupakan prosedur yang harus dilaksanakan dalam rangka pencegahan penularan Covid-19.
Sebenarnya bukan hanya dokter yang berkewajiban melaksanakan protokol tersebut. Pasien juga dibebani kewajiban yang sama. Sesuai ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh setiap anggota masyarakat, termasuk penderita penyakit menular. Upaya penanggulangan wabah penyakit menular dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, salah satunya melalui pemeriksaan kesehatan. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) ditegakkan dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14.
Pasal 14 ayat (1) berbunyi: "Barangsiapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000." Sedangkan Pasal 14 (2) menyatakan, "Barangsiapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana kurungan 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000." Berdasarkan ketentuan Pasal 14 tersebut, menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah, baik dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja, merupakan tindak pidana.
Mengacu pada kasus di atas, ada dua pertanyaan yang bisa diajukan: (1) Apakah pasien yang menolak dilakukannya pemeriksaan Swab dapat dipidana?; (2) Apakah dokter dibenarkan melakukan pemeriksaan Swab tanpa persetujuan si pasien?"
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu memastikan apakah perbuatan pasien menolak pemeriksaan Swab itu merupakan tindak pidana. Tindak pidana adalah istilah teknis yang digunakan untuk menyebut perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana (punishable acts). Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau bukan, kita harus memastikan apakah perbuatan dimaksud dilarang dan diancam dengan sanksi pidana di dalam peraturan perundang-undangan yang ada (berlaku). Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan, "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya." Apakah ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dapat diterapkan pada kasus penolakan pemeriksaan Swab di atas?
Menurut saya tidak. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, menolak pemeriksaan, Swab tidak (belum) bisa dikualifikasikan sebagai 'perbuatan menghalangi penanggulangan wabah' sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular. Suatu perbuatan bisa disebut 'menghalangi penanggulangan wabah' apabila perbuatan tersebut secara obyektif dapat mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah. Pemeriksaan Swab memang memenuhi kriteria penanggulangan wabah, dalam hal ini Covid-19. Pada kasus di atas, perbuatan pasien menolak pemeriksaan Swab tidak sampai mengakibatkan terhalangnya pemeriksaan itu, karena ada posibilitas untuk menggunakan upaya paksa. Dalam hal ini, tetap melaksanakan pemeriksaan Swab meskipun tidak mendapat persetujuan si pasien.
Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, upaya paksa boleh dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, termasuk Covid-19. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit Menular membenarkan tindakan-tindakan intervensi oleh Petugas Kesehatan kepada pasien. Pasal 18 (1) menyatakan bahwa setiap orang yang mengetahui adanya penderita penyakit menular berkewajiban melaporkan kepada tenaga kesehatan atau puskesmas. Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 18 (2): "Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melaporkan kepada Puskesmas untuk dilakukan verifikasi, pengobatan, dan upaya lain yang diperlukan agar tidak terjadi penularan penyakit." Verifikasi adalah upaya memastikan kebenaran laporan yang dilakukan tidak hanya dengan pengecekan identitas terlapor, tetapi juga dengan pemeriksaan. Intervensi yang lebih jauh juga diperbolehkan seperti yang diatur dalam Pasal 29 (1) butir c. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa Pejabat Kesehatan Masyarakat pada satuan kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka menyelenggarakan program penanggulangan penyakit menular memiliki tugas mengambil dan mengirim sampel dan/atau spesimen untuk keperluan konfirmasi laboratorium. Jika dikaitkan dengan kasus di atas, pemeriksaan Swab dilakukan dengan cara mengambil sampel lendir di tenggorokan pasien untuk diperiksa di laboratorium klinik. Pejabat Kesehatan Masyarakat yang dimaksudkan dalam ketentuan tersebut adalah adalah PNS di lingkungan kesehatan yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penanggulangan penyakit menular [(Pasal 1 butir (3)]. Dalam konteks pandemi Covid-19, Dokter PNS yang ditunjuk sebagai anggota Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 memenuhi kriteria tersebut. Dengan demikian tindakan intervensi oleh Petugas Kesehatan yang berwenang dibenarkan. Logikanya, jika Petugas boleh menjemput paksa pasien Covid untuk diisolasi, maka sekedar memaksa melakukan pemeriksaan terhadap pasien yang terindikasi Covid-19 tentu lebih bisa dimaklumi.
Alasan yang kedua adalah, si pasien memiliki hak untuk menolak pemeriksaan dan hak ini dilindungi oleh undang-undang. Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menjamin hak pasien untuk menolak pengobatan. Jika menolak pengobatan saja dibenarkan, apalagi sekedar menolak pemeriksaan. Memang benar, hak menolak tersebut tidak berlaku mutlak karena ada beberapa pengecualian. Salah satunya, hak menolak pengobatan tidak berlaku pada penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas [(Pasal 56 ayat (2) huruf (a)]. Tetapi ketentuan Pasal 56 ayat (2) tersebut tidak dapat diterapkan pada kasus di atas, sebab si pasien belum confirmed terjangkit Covid-19. Statusnya baru terindikasi, dan pemeriksaan Swab tersebut diperlukan untuk memastikan apakah yang bersangkutan positif atau negatif. Karena belum confirmed sebagai penderita Covid-19, maka hak menolak tetap berlaku untuknya. Dengan demikian, maka tuntutan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) tidak bisa dilakukan karena unsur melawan hukumnya tidak terpenuhi. Sebagaimana diketahui, status sebagai tindak pidana tidak hanya menuntut kriteria terpenuhinya unsur-unsur delik semata, tetapi perbuatan yang dilakukan juga harus bersifat melawan hukum (wederrechtelijk). Dalam hal ini, perbuatan pasien menolak pemeriksaan tidak bersifat melawan hukum, karena ia memang memiliki hak untuk menolak.
Lalu tindakan apa yang harus dilakukan oleh si dokter dalam kasus di atas? Dokter tidak boleh melakukan pemeriksaan Swab karena hal itu melanggar hak pasien, tetapi dokter juga tidak boleh tinggal diam sebab membiarkan pasien yang terindikasi Covid-19 (hasil Rapid Test reaktif) tanpa pemeriksaan lanjutan (Swab test) merupakan pelanggaran terhadap Protokol Covid-19. Jadi, maju kena diam pun kena juga. Respon yang harus diakukan oleh pihak dokter yang memeriksa pasien tadi adalah melaporkan kasus penolakan tersebut kepada pihak yang berwenang misalnya Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19. Petugas kesehatan dari tim inilah yang akan menindaklanjuti dengan upaya paksa jika perlu. Upaya paksa tersebut secara hukum dibenarkan karena dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan undang-undang. Dalam Hukum Pidana, melaksanakan ketentuan undang-undang diakui sebagai salah satu alasan penghapus pidana (jawaban untuk pertanyaan kedua).