Lihat ke Halaman Asli

Endrianto Bayu

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto dan Bahaya Laten Rusaknya Sistem Peradilan Konstitusi

Diperbarui: 24 Oktober 2022   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 29 September 2022 DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna ke-7 Masa Sidang I Tahun 2022-2023 yang salah satu agendanya adalah pencopotan jabatan salah satu Hakim Konstitusi (MK), Aswanto. Pasca pencopotan tersebut, muncul narasi pemberitaan bahwa pencopotan tersebut dilakukan secara mendadak--karena berdasarkan informasi tidak ada agenda DPR melakukan pencopotan terhadap hakim MK.

Berdasarkan informasi yang beredar, Komisi III DPR mencopot Aswanto sebagai Hakim MK karena menganggap kinerjanya mengecewakan dan sering menganulir atau membatalkan undang-undang yang telah dibuat DPR.

Secara hukum keputusan DPR yang mencopot Aswanto jelas salah karena tidak memiliki pijakan hukum, prosesnya dilakukan secara serampangan, tidak demokratis, dan sarat akan kepentingan politik.

Beberapa pertimbangan mengapa keputusan DPR harus ditolak antara lain:

Dasar Hukum Pemberhentian

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2020, salah satu ketentuan mengenai pemberhentian hakim konstitusi diatur dalam Pasal 23 ayat (2) yang mengatur tentang pemberhentian tidak dengan hormat. Hakim Konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila dipidana penjara berdasarkan putusan yang incracht, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan selama 5 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji jabatan, sengaja menghambat tugas MK, melanggar larangan rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, dan/atau melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (KEPPHK).

Apabila menelaah semua ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) di atas, tidak ditemukan sama sekali aturan yang menjadi dasar legitimasi pemberhentian hakim MK karena alasan "kinerjanya yang tidak bagus ataupun sering membatalkan undang-undang".

Kalaupun Aswanto harus diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan tertentu, misal akibat melanggar KEPPHK, maka keputusan itu harus ditetapkan Majelis Kehormatan MK yang kemudian diberhentikan dengan keputusan presiden.

Dari sini saja dapat dipahami bahwa pijakan hukum yang menjadi dasar keputusan pencopotan oleh DPR adalah tidak berdasar dan tidak jelas. Bahkan pencopotan tersebut menunjukkan bahwa DPR tidak paham mekanisme hukum yang terdapat dalam UU MK--yakni produk hukum yang dibuatnya sendiri bersama presiden.

Mengingat tidak adanya pijakan hukumnya, maka wajar apabila pencopotan Aswanto lebih menunjukkan nuansa politis ketimbang nuansa demokratisnya.

Logika Pencopotan yang Keliru

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline