Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah Zahra

Diperbarui: 20 Maret 2017   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

       “Bismillahirahmanirrahim.  Tabaarakalladzii biyadihil mulku wahuwa 'alaa kulli syay-in qadiir…”

      Lantunan ayat Al-Quran dibacakan dengan begitu merdu oleh Zahra. Tangannya dengan terampil meraba permukaan kertas Al-Quran-nya. Ya, Zahra Fatmawati, atau biasa dipanggil Zahra ini adalah seorang tunanetra. Sebuah kecelakaan saat berangkat sekolah lima tahun yang lalu telah membawa gadis berkerudung besar itu pada keadaannya yang sekarang. Selama lima tahun itu juga, belum ada donor yang cocok untuk matanya. Mungkin memang sudah jalan dari Sang Pemilik Alam, itu yang selalu ia tanamkan dalam pikirannya ketika lagi-lagi mendapat kabar bahwa belum ada donor yang cocok.

     “Waqaaluu law kunnaa nasma'u aw na'qilu maa kunnaa fii ash-haabi ssa'iir…”

     Masjid ini masih sepi. Sangat cocok dengan suasana hati Zahra yang ingin menenangkan diri. Pagi ini, saat ia dalam perjalanan ke masjid, ia tak sengaja melewati ibu-ibu yang sedang membicarakan dirinya. Tapi, pernah sekalipun ia marah. Tak ia dengarkan bisik-bisik orang-orang tentang dirinya. Ia tahu, namun ia hanya tersenyum. Umurnya sudah 24 sekarang. Wajar jika banyak orang yang menggunjingkannya karena ia memang belum menikah. Mencoba tersenyum, Zahra melanjutkan bacaannya.

     “KAK ZAHRAAA!!!!” 

     Teriakan itu membuat Zahra  menghentikan kegiatan membacanya. Kepalanya menatap lurus ke depan seolah di depannya ada sebuah objek yang dapat ia lihat. Mendengar langkah kaki yang terdengar seperti orang berlari itu membuat Zahra tersenyum. Rian namanya, anak kecil berusia sekitar tujuh tahun yang baru saja meneriakkan namanya. Hari ini hari Sabtu, dan sudah menjadi kebiasaan bahwa Rian akan datang untuk memberikan sesuatu padanya.

     “Shadaqallahul ‘azhim,” Zahra menggeser tempat Al-Quran yang dipakainya ke samping. Masih melamun, ia memikirkan saat pertama kalinya Rian datang padanya. Ini sudah lebih dari tiga bulan dan bocah kecil itu tidak juga mau mengatakan siapa yang memberinya surat yang selalu ia berikan pada Zahra. Terus seperti itu setiap minggunya. Ia selalu menyimpan surat-surat itu di dalam sebuah map khusus. Sudah sekitar dua belas surat ia terima dari Rian. Tidak perlu khawatir tak bisa membacanya karena tulisan yang ada di kertas tebal dan licin itu sama jenisnya dengan huruf arab di Al-Qurannya. Huruf Braille.

     “Assalamualaikum, ini suratnya,” suara imut Rian membuyarkan lamunan Zahra. Zahra mendongak. Seolah tengah menatap Rian, ia tersenyum. Rian pun menyalami Zahra.

     “Walaikumsalam. Rian masih belum mau memberitahu Kakak, hm?” tanyanya lembut. Tangannya menggapai udara kosong guna mencari wajah Rian. Mengerti, Rian mendekat hingga Zahra dapat menyentuh wajahnya. Menurut, Rian duduk di depan Zahra.

     “Maaf, Kak. Tapi Rian sudah berjanji, jadi nggak boleh diingkari. Nanti kalau Rian berdosa bagaimana? Apalagi ini adalah janji seorang pria sejati,” ungkap Rian tak enak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline