Lihat ke Halaman Asli

frendomiserio

Wiraswasta

Quo Vadis Perempuan Kretek Indonesia? (Refleksi terhadap Kebijakan Negara dan Nasib Buruh Perempuan)

Diperbarui: 3 Desember 2023   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini pemerintah mengeluarkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Pengamanan Zat Adiktif sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 (UU Kesehatan) dan Peraturan Mentri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 tahun 2023 tentang penyesuian waktu kerja dan pengupahan pada perusahaan Industri padat karya. Kedua kebijakan tersebut  menuai banyak tanggapan pro dan kontra dari pelbagai aliansi, karena dikhawatirkan mengancam nasib para petani tembakau, para buruh, dan pabrik rokok konvensional.

Refleksi dalam bentuk opini ini tercipta dari beberapa pertanyaan sederhana: Quo Vadis Perempuan Kretek Indonesia?, setelah bekerja menghasilkan krektek bagi Indonesia, apakah kebijakan seperti dimaksudkan di atas telah membuat mereka sejahtera? Bagaimana nasib mereka saat terjadi pasang surut harga produksi tembakau dan rokok?. Semoga tulisan ini mampu menjadi bahan pertimbangan, permenungan, dan sebagai acuan berpikir dalam proses menciptakan bonum commune bagi semua pihak terkait khususnya bagi para buruh perempuan di sektor produksi rokok kretek.

Tembakau, Rokok, dan Pendapatan Nasional

Siapa yang tidak kenal daun tembakau? Tanaman yang diperkirakan berasal dari luar Indonesia ini didatangkan dan mulai dibudidayakan sekitar tahun 1650-an di beberapa daerah. Hari ini Indonesia menjadi negara penghasil tembakau terbesar keenam setelah Cina, Brazil, India, Malawi, dan Amerika. Penghasilan yang didapatkan dari cukai daun bernama latin Nicotiana Tabacum ini menjadi salah satu penyokong utama perekonomian nasional. Di Indonesia terdapat 3 provinsi pengasil tembakau terbesar yakni Jawa Timur, Jawa tengah, dan NTB. Perjalanan produksi 'daun emas' di Indonesia mengalami pasang surut dari tahun ke tahun. Data terakhir tahun 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan produksi tembakau di Indonesia sebesar 225,7 ribu ton, jumlah tersebut dikatakan menurun 8% dari tahun 2021 yang berjumlah 236,9 ribu ton. Produksi tembakau kemudian berpengaruh juga pada produksi rokok. Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementrian Keuangan menyebutkan bahwa produksi rokok tahun 2022 sebanyak 323,9 miliar batang rokok mengalami penurunan sebesar 3,29% dibanding tahun 2021.

img-20231202-202451-656c4c3af6936f5114753b62.jpg

Berdasarkan kedua diagram di atas, khususnya pada tahun 2021 produksi tembakau menurun sedangkan produksi rokok meningkat. Data tersebut berbeda dengan tahun 2019 di mana produksi tembakau dan rokok sama-sama meningkat. Hal itu menjelaskan bahwa produksi tembakau dan rokok di Indonesia mengalami pasang surut dan tidak selalu konstan dalam jumlah yang sama setiap tahunnya. Pengaruhnya tidak hanya mengena kepada para petani tembakau tetapi juga bagi para buruh pabrik rokok. Lalu bagaimana dengan cukai rokok? Apakah terpengaruh dengan turun naiknya produksi tembakau dan rokok?

Diagram di bawah ini menunjukan bahwa 3 tahun terakhir pendapatan cukai rokok meningkat secara signifikan. Tahun 2020 sebesar 170,24 triliun; tahun 2021 sebesar 188,81 triliun; serta tahun 2022 sebesar 98,02 triliun. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh keputusan pemerintah untuk menaikan tarif cukai tembakau (CHT) setiap tahunnya. Secara keseluruhan pemerintah menetapkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 10% bagi semua jenis produksi rokok konvensional. Bahkan rencananya cukai rokok akan dinaikan menjadi 10,2% pada tahun yang akan datang.

Sumber: Kementrian Keuangan 

Kenaikan harga cukai tersebut mengancam pabrik-pabrik rokok, jika demikian maka pabrik terpaksa harus mengurangi pekerjannya jika tidak ingin gulung tikar. Apakah kenaikan cukai rokok adalah salah satu strategi menurunkan prevelensi perokok anak di Indonesia yang semakin besar, atau sebagai pengendalian konsusmsi rokok yang melebihi konsumsi beras, daging, dan telur?. Terlepas dari tujuan baik di balik semua itu, rupanya kebijakan tersebut berindikasi menjadi mimpi buruk bagi masyarakat.

Peran Negara bagi Buruh Perempuan

Sadar bahwa kebijakan tersebut akan berdampak juga bagi para buruh perempuan di pabrik rokok, maka Mentri Ketenagakerjaan (Permenaker) menerbitkan peraturan  Nomor 5 tahun 2023 tentang penyesuian waktu kerja dan pengupahan pada perusahaan Industri padat karya yang sudah diberlakukan sejak 8 Maret 2023. Tentang waktu kerja pemerintah memberikan pengaturannya kepada masing-masing perusahaan rokok, dengan ketentuan waktu yang diberlakukan kurang dari 7 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk 5 hari kerja dalam satu pekan. Sedangkan terkait upah kerja pemerintah mengizinkan adanya penyesuaian upah buruh sedikitnya 75 % dari upah yang biasanya diterima.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline