[caption id="attachment_165426" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi: google.co.id"][/caption] DALAM kehidupan saya yang biasa-biasa saja, tiba-tiba muncul “rasa sentimental” terhadap pengalaman nun di masa lalu. Pengalaman saat mahasiswa ketika bergulat dengan berbagai realita dan buku. Pengalaman ketika sempat betugas sebagai wartawan yang saban hari menggauli fakta, data, refensi, dan dinamika kehidupan. Dengan agak malu, saya menyadari betapa lama saya tidak membaca. Tentu, membaca dalam arti “mencari suatu makna dalam sebuah buku”. (Tolong bedakan dengan membaca buku untuk mendapatkan kiat-kiat tertentu, daftar harga barang, guide book komputer, atau buku-buku how to yang memuakkan, hehe). Maka, masih dengan “kemaluan yang besar”—maksudnya rasa malu yang semakin menyelimuti—saya membongkar kardus dan sebuah bag cover besar yang berdebu. Berdebu; sebuah kesan tentang betapa lamanya benda-benda itu tak lagi disentuh. Sambil bersin-bersin karena alergi debu, saya membuka benda-benda itu, dan menemukan betapa koleksi bukuku sedang merana. Ada yang jungkir balik, ada yang terjepit, ada yang tertekuk, ada yang berdiam seolah sedang bertapa. Pelan-pelan, saya menyisihkan beberapa judul, mengibas-kibaskan debu sambil sekilas membaca. Sorting dan sorting, sehingga beberapa judul yang mungkin sedang kuperlukan telah terpisah rapi. Koleksi buku saya sebenarnya tak seberapa, tak pernah dihitung berapa jumlah persisnya. Yang jelas, koleksi itu dominan mencakup tema sastra, jurnalistik, filsafat, politik. Sebagian berupa buku yang dibutuhkan saat berkuliah dulu. Sebagian memang sengaja dibeli karena memang ingin. Sebagian merupakan hadiah. Tentang hadiah ini, saya kembali ingat masa-masa mahasiswa, menulis resensi buku di beberapa koran. Biasanya, jika sebuah resensi dimuat, fotocopy artikel itu dikirim ke penerbit, dan sebagai hadiahnya, penerbit memberikan buku baru secara gratis, antara 1 sampai 2 eksemplar. Beberapa buku yang telah dipilih itu saya buka satu persatu. Ada rasa haru menyelinap. Saya temukan tiket kereta api Yogya-Jakarta bertahun 2003, yah...saat itu disela-sela pengerjaan skripsi, saya hendak menjalani trainning jurnalistik di Jakarta, sebelum ditugaskan sebagai wartawan di Balikpapan. Sejenak, kenangan saat itu terputar kembali, karena buku itu saya baca dalam perjalanan. Yang juga mengharukan, di buku lainnya, saya menemuka nota fotocopy, ah...sebuah nama toko di Yogya, tak jauh dari kampus, nun bertahun-tahun yang lalu! Dua “penemuan” itu saja telah membuat saya menjadi semakin sentimentil! Tiba-tiba saya menyadari, saat ini, nyaris 2 tahun, saya tak pernah lagi membaca secara benar. Tak lagi menulis secara semestinya. Nyaris dua aktifitas yang begitu lekat di masa lalu, menjadi tenggelam saat ini. Mengapa? Astaga, saya telah melupakan aktifitas penting yang nun di masa lalu telah sanggup mendongkrak semangat hidup. Lalu saya teringat akan ujaran, entah oleh siapa di mana, bahwa hidup semestinya berisi “kegelisahan”. Orang yang selalu gelisah adalah orang yang akan kreatif, ia akan selalu berpikir dan mencari solusi. Sebaliknya, orang yang “mapan” dengan situasi yang akan, akan tenggelam dalam kemapanannya, menjadi tidak lagi kreatif dan semakin malas. Apakah selama ini, saya berada pada kondisi yang terakhir itu? Apa boleh buat, saya harus menyediakan waktu untuk merenung, mengenang, dan berpikir. [caption id="attachment_165427" align="alignright" width="300" caption="Seno Gumira Ajidarma. Sumber: hampirmati.wordpress.com"]
[/caption] Adalah Seno Gumira Ajidarma, yang sangat memikat saya dalam karya-karyanya. Tak hanya buku, tulisannya di koran pun saya klipping. Saya sering berpikir tentang seorang Seno, membaca riwayat hidupnya yang selalu disajikan singkat di setiap halaman akhir bukunya. Kepuasan bathin baru saya rasakan saat berjumpa secara langsung dengan dia. Seingat saya, selama berkuliah di Yogya, hanya 2 kali, itu saja. Kali yang pertama di sebuah seminar di kampus. Sebagai mahasiswa dari pedalaman yang sebelumnya hanya mengenal tokoh ini lewat karyanya, saya merasakan kepuasan yang besar bisa berjumpa, meski hanya dalam sebuah seminar (sayang dalam kesempatan itu, saya tidak membawa koleksi bukunya, sehingga tak punya tandatangannya, hehe). Kali kedua, di sebuah toko buku besar di Yogya, saya menghadiri bedah buku Seno. Buku itu sebetulnya tidaklah baru. Ia berupa cetak ulang oleh penerbit yang berbeda, dan saya sudah pernah membacanya. Tetapi mendengar informasi acara itu akan dihadiri Seno, saya bergegas datang. Dan acara itu pun semakin menuntaskan kepuasaku. Setelah mengikuti diskusi panel tentang karyanya, aku dan fans-fans lain berkerubutan meminta tanda tangannya di buku “Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi”. (Rekan-rekanku yang tak hadir dan memang tak tertarik pada sastra, meragukan tanda tangan itu saat kutunjukkan pada mereka, hemmm, biar saja hehe). Kepuasan apa yang saya dapatkan? Tentu, kepuasan akan penuturan Seno soal dunia kepenulisannya. Sudah lama menjadi pertanyaan saya, sejak SMU di pedalaman Kalimantan: bagaimana Seno begitu mudah menuangkan pikirannya dalam tulisan, dan enak dibaca? Dalam diskusi panel itu, Seno dengan gayanya yang santai dan terkesan cuek (seperti gaya tulisannya), menuturkan bahwa ia hanya “memotret” realita sehari-hari, dan memindahkannya dalam bentuk tulisan. Karenanya, tulisan Seno begitu hidup dan meng-inspirasi. [caption id="attachment_165428" align="alignleft" width="300" caption="Romo YB Mangunwijaya Pr (alm). Foto: Kompas.com"]
[/caption] YB Mangunwijaya, sang Romo yang kini telah berpulang ke Rumah Bapa, juga memberi nuansa yang besar dalam referensi kepenulisanku. Saat SMA, saya sudah mencoba membaca “Burung-burung Manyar” yang dahsyat itu, tentu dengan segala kebingungan dan tanda tanya, karena saat itu logika saya memang belum “nutut” untuk memahami novel itu. Saat digelar sebuah diskusi di kampus yang menghadirkan Romo Mangun, saya pun tak menyia-siakan waktu. Kepuasan bathin bisa bertemu penulis yang sebelumnya hanya dikenal lewat buku, itu yang mendorong saya. Seingat saya, Romo Mangun tampil khas dengan kacamata tebal, kaos putih, celana panjang coklat, rambut dan jenggot memutih. Saya menyimak penuturanya dengan terkesima! “Sebuah novel punya publiknya tersendiri,” katanya. “Karya seni pun begitu, misalnya lagu dangdut akan terasa sangat nikmat bagi kalangan rakyat kecil, sebaliknya musik klasik menjadi hiburan kalangan atas.” Romo Mangun hanya mau menegaskan, untuk dunia apresiasi terkadang tidak adil jika dipilah-pilah dalam strata sosial. Karya seni apa pun bentuknya, memiliki khalayaknya sendiri. Nah, dalam pikiran saya, begitu juga dengan buku. Setiap buku memiliki khalayak pembacanya sendiri. Ada yang senang satra, jurnalisme, filsafat, dan bahkan ada yang hanya tertarik pada “guide book”. Setelah itu, sesekali saya melihat Romo Mangun hadir di tengah demonstrasi para mahasiswa Yogya (tahun 1998). Ia tampil dengan capingnya yang khas. Sampai akhirnya ia wafat di Jakarta, dan untuk terakhir kalinya saya masih berkesempatan melihat jenazahnya disemayamkan di Gereja Kidul Loji Yogya, sampai dimakamkan di Seminari Kentungan. Dalam pemakaman itu, aku membathin: seorang penulis besar telah dimakamkan hari ini, dan aku hanya bisa mengenangnya lewat tulisannyanya... Saya menyadari, dua tokoh itu berpengaruh besar dalam menumbuhkan skill kepenulisanku. Saya senang dengan cara ringan namun berisi, sebuah ide dan pemikiran bisa dituliskan. Meski, karya kepenulisan saya tidaklah spektakuler seperti penulis produktif lainnya. Selama mahasiswa hanya mampu menulis beberapa resensi buku untuk koran lokal Yogya dan 2 koran nasional. Sedikit artikel pendek ala mahasiswa di koran lokal. Sebuah buku “keroyokan” yang diterbitkan unit penerbit mahasiswa. Sampai sempat mengecap bekerja sebagai wartawan (2003) di sebuah tabloid politik dan lingkungan. Dan setelah lulus, selama 2 tahun menangani sebuah majalah di sebuah kabupaten di Kaltim dan sebuah buku “keroyokan”. Catatan ini memang saya buat di sela-sela membaca kembali beberapa buku yang selama ini berteman dengan debu. Saya hanya ingin membangkitkan kenangan yang tiba-tiba menyembul sebagai suatu “sentimental pribadi”. Kembali membaca, kembali mengenang, dan serasa katarsis kembali menyelimuti. SEVERIANUS ENDI Note: Ini arsip tulisan lama yang saya buat pada Januari 2008.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H