Lihat ke Halaman Asli

Hanz Endi Pramana

menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Di Dalong, Bulan Mengintip dari Balik Ranting (2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_125832" align="alignleft" width="300" caption="Yan duduk di tangga Pondok Dalong, mengajari siswanya tentang Musik Senggayung. Foto: Dokumentasi Pribadi Yan Sukanda."][/caption] MALAM yang berpadu antara gulita dan temaram, mengingatkan aku kembali pada Dalong. Tak mudah bagiku untuk menceritakan tempat ini secara detail. Ah alasan, mungkin begitu kata anda, hehehe. Baiklah, Rabu (10/8/11) yang lalu, hari sudah malam ketika aku menapakkan kaki ke sebuah pondok kayu di Dalong. Mungkin sekitar pukul 20.00 WIB lewat sedikit. Pada tulisan pertama di link ini, sudah kukisahkan di mana letak tempat itu, dan berapa jauh jaraknya dari kota. Kali ini, aku ingin berbagi cerita lain terkait tempat yang kusebut Pertapaan Dalong itu. Inilah kali pertama aku berkunjung ke tempat yang sudah lama kudengar kabarnya. Mobil yang membawa kami harus parkir di pinggir jalan yang sunyi dan masih dikitari areal hutan. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 menit berjalan kaki menyusuri jalan kecil untuk tiba di pondok. Dalam gelap bercampur remang, cahaya kecil lampu minyak tanah terlihat di ruang tengah. Dalam gelap, sulit aku mengenali pohon apa saja yang tumbuh dan berdaun lebat di sekelilingnya. "Lihat, bulan mengintip kita dari balik ranting," ujar temanku, Mering, yang juga untuk pertamakalinya datang ke sana. Menengadah ke arah ranting-ranting yang rindang, memang terlihat bulan seakan mengintip dari celah-celah. Barangkali karena pernah mengalami hal ini, seseorang sampai menuliskan cerita pendek berjudul "Bulan Tersangkut di Ranting". Angin berhembus sejuk, dan sejenak kupandangi sekeliling di luar pondok dengan haru. Betapa suasana ini telah lama kurindukan. Bagai tamasya ke masa kecil, saat kehidupan kami di pedalaman masih sangat terbatas penerangannya. "Di pondok ini, banyak hal tentang alam telah kuajarkan pada rekan-rekan muda," ujar Yan Sukanda, sang empunya "pertapaan". Itu sebab, sejak 17 tahun lalu, dia sudah membangun pondoknya. Ukurannya kira-kira 5 kali 3 meter, disekat menjadi dua bagian. Ada ruang tengah, ruang tidur, dan dapur. Sengaja tanpa penerangan listrik, agar setiap saat bisa menenangkan diri dan sejenak melepas ketergantungan pada teknologi. [caption id="attachment_125833" align="alignright" width="300" caption="Sungai Dalong, dulunya hanya berupa parit. Banyak ikan air tawar di sana. Foto: Dokumentasi Yan Sukanda."][/caption] "Oh, itu memang sungai benaran, ya?" tanyaku tentang sungai kecil yang lebarnya sekitar 4 meter dan membujur di sisi pondok. "Bukan. Awalnya itu parit buatan, sudah ada sejak 20-an tahun lalu. Ujungnya sampai ke muara Sungai Pawan," kata Yan Sukanda. Jika air pasang, ikan-ikan menghindar dari air payau di muara. Malam itu, pukat dibentangkan di sana, dan beberapa ekor ikan air tawar berhasil ditangkap. Digoreng, gurih sekali rasanya ketika kunikmati! "Di tempat ini, aku sering mengajak teman-teman berdiskusi tentang burung-burung, serangga, dan ikan-ikan," ucap Yan sembari menunjukkan beberapa foto di telepon selularnya. Mereka berusaha memotret kemudian mengidentifikasikan satwa-satwa yang ditemukan di hutan kecil itu. Pelan namun pasti, deret panjang satwa-satwa itu mulai tersusun dalam dokumen yang rapi. Yan memiliki yayasan yang diberi nama Wahana Riset dan Informasi Kebudayaan (Warisan). Kadang dengan dana seadanya, dia bersama teman-teman hunting aneka satwa liar untuk diabadikan kemudian ditelusuri informasi ilmiahnya. "Kita bisa tanya om google jika ingin tahu informasi jenis-jenis satwa yang kita temukan," ujar Yan sambil terkekeh. [caption id="attachment_125834" align="alignleft" width="300" caption="Para siswa "][/caption] Sarjana etnomusikologi lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, sehari-hari mengajar di SMP Santo Augustinus Ketapang. Para siswa diajarkan berseni dengan menanfaatkan kemurahan alam. Caranya? "Setiap tahun ada pelajaran apresiasi seni, membuat dan belajar main senggayung di Dalong. Ada rumpun bambu tering-anyang di tempat ini, yang bisa diambil tiap tahun," ujar ayah dua anak ini. Senggayung yakni musik yang dimainkan menggunakan bahan-bahan dari bambu. Iramanya bisa terdengar sangat merdu dan menyentuh kalbu. Dalam ritual adat, musik senggayung dimainkan untuk "menimang" buah, agar kuntum berkembang menjadi bakal buah, dan buah matang di pohon. Wahai, saya sudah lama mengidam-idamkan tempat seperti ini! Dan sekembalinya aku ke Kota Pontianak, masih saja dia menggodaku lewat SMS: "Saya hendak ke Dalong, mau ikut?" SEVERIANUS ENDI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline