[caption id="attachment_114874" align="alignleft" width="300" caption="Tertawa tulus dan tanpa beban. Foto: Severianus Endi."][/caption] KEMARIN malam jumpa seorang motivator lokal yang sudah cukup dikenal di kalangan "en ji o", dan beliau juga low profil. Ada resep yang entah beliau kutip dari mana, tentang tips mengatasi stress. Dalam perbincangan ringan beliau itu, seorang rekan yang nimbrung menanyakan resep itu. "Dalam sehari, minimal harus tertawa sebanyak 17 kali," kata beliau. Kenapa, Pak? "Supaya tidak stress." Kalau misalnya tidak sempat menghitung tawa itu? "Ya kamu sempatkan." Kalau menjelang hendak tidur malam, ternyata jumlah tawa belum sampai 17? "Ya kamu genapilah, sebelum tidur, gimanapun caranya." Suasana perbincangan itu juga, saya tidak tahu kenapa, cukup kocak sehingga saya sempat terpingkal-pingkal bersama beliau. Seorang rekan lain yang nimbrung, juga menyumbang stimulasi untuk memunculkan tawa. "Wajahmu cerah setelah tertawa. Memang selama ini, kamu jarang tertawa ya?" Hah? Apa iya? "Iya mas, ketok mbanget wajahmu kusut," sambung seorang rekan. (Iya mas, kelihatan sekali wajahmu kusut). Sayang bincang-bincang itu harus berakhir, karena si bapak segera harus tampil di sebuah acara. Sementara saya masih penasaran dengan tips tadi. Di sebuah warung es jus, jumpa beberapa teman. Mereka ceria sambil menyeruput jus dan makan krupuk, sambil cerita-cerita beberapa anekdot. Saya duduk diam-diam di antara mereka, sambil masih berfikir tentang bapak tadi. Sepertinya teman-teman sangat menikmati perjumpaan itu. Mereka tertawa lepas, sambung menyambung satu anekdot dengan anekdot lainnya. Meski bagi saya tidak lucu, saya coba tertawa. "Mas, kalau tertawanya tidak tulus, ya jangan dipaksa dong," celetuk seorang rekan. Terpaksa gimana, bro? "Ah, saya tahu, bibirmu tertawa, tapi hatimu tidak." Sok teu ente, ler! "Hahahahaha," dia malah tertawa. Ya sudah saya juga punya anekdot. Alkisah ada orang kaya, jadi turis ke Spanyol. Dia makan di sebuah restoran mewah di pusat kota. Sang bapak memanggil pelayan, dan menanyakan menu apa gerangan yang sedang disantap tamu di sebelah mejanya. Kelihatannya memang nikmat. Sang pelayan menjawab, itu menu spesial, dan hanya ada satu porsi dalam sehari, namanya terpedo banteng. Karena sehari hanya ada satu adu banteng dengan matador, maka menu terpedo ini cuma ada satu porsi. Itu sebab menu ini sangat spesial dan harganya mahal. Baik, ujar turis itu, saya pesan untuk besok. Keesokannya, sang turis kembali ke restoran, tak sabar menanti pesanannya. Pelayan datang, dan menyuguhkan menu spesial itu. Turis itu pun makan dengan lahapnya. Enak memang menu spesial ini, bathinnya. Usai makan, dia pun membayar. Di meja kasir, dia bilang: enak sekali bos. Tapi saya agak heran, terpedo yang saya makan tadi kok lebih kecil ketimbang terpedo yang dinikmati tamu kemarin? Kasir menjawab: yah, kan dalam adu banteng, tidak selalu bantengnya yang tewas, kan bisa saja matadornya yang tewas. Cerita saya segera disambut gelak tawa teman-teman di warung jus. Benar-benar mereka tertawa, dan dari wajah mereka saya lihat, ekspresi tawa mereka nikmat sekali. Apa karena mereka belum pernah mendengar anekdot ndobos itu? * Pagi Sabtu, 18 Juni 20011, salam akhir pekan, rekans... SEVERIANUS ENDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H