Lihat ke Halaman Asli

Krisis Ekonomi: Produk Bermerek "Kapitalisme" (II)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi memperlihatkan watak aslinya ketika terjadinya kriris ekonomi di beberapa negara seperti krisis keuangan dan anjloknya harga saham di pasar modal internasional. Terbukanya jalur perdagangan dunia dan dengan sistem keuangan yang mendukung keluar masuk arus modal dengan didukung oleh teknologi mutakhir serta semakin tingginya jumlah pengguna layanan internet dan satelit maka telah dapat dikatakan bahwa globalisasi merupakan bentuk kapitalisme dalam bentuknya yang berbeda dengan segala kemudahan transmisi modal antar negara yang tidak hanya dalam bentuk hot money tetapi juga sebagai sebuah korporasi yang sedang mengalami evolusi dari internasionalisasi bisnis.

Terbentuknya WTO sebagai organisasi multinasional yang dirancang untuk mengurus peraturan perdagangan antar negara-negara regional telah menjembatani arus transaksi perdagangan antar negara dengan mengurangi ataupun menghapus hambatan bahkan pembatasan perdagangan di seluruh dunia, ini berarti setiap negara harus mampu bersaing secara bebas dalam perdagangan internasional. Kemudian terdapat tiga bentuk integrasi ekonomi yang utama, yaitu FTA (free trade agreement) yang dibentuk untuk menghapus tarif perdagangan antar negara anggotanya, perserikatan kepabeanan (custom union) dalam penggunaan tarif bersama dalam perdagangan dengan bukan anggotanya, pasar bersama (common market) mengijinkan perpindahan faktor produksi secara bebas termasuk barang dan jasa antara negara anggotanya.

Perekonomian domestik yang memiliki hubungan dengan perekonomian luar negeri melalui pasar keuangan terutama pasar modal dimana arus modal masuk dari luar negeri berupa hot money yang berasal dari investor yang mencari keuntungan dari perbedaan tingkat suku bunga di negara-negara yang memiliki pasar yang baru berkembang (emerging market), karena di negara asalnya tingkat suku bunga yang rendah tidak mungkin investor dapat mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi dari surat utang negara yang bebas risiko maka alasan dipilihnya negara emerging market yang memiliki tingkat suku bunga yang tinggi karena dapat memberikan tingkat pengembalian yang tinggi dan mampu menguatkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar sehingga meskipun penguatan Rupiah tidak membuat ekspor menjadi melemah karena pada saat rupiah terdepresiasi maka harga relatif produk yang diekspor akan menjadi murah dan sebaliknya para importir domestik akan merugi karena biaya impor yang meningkat serta beban utang luar negeri (sebanding dengan mata uang domestik).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline