Lihat ke Halaman Asli

Surat Kecil untuk Kakak [Bila Waktu Telah Memanggil]

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bkl, 07 November 2012

Embun mengerling tak biasa, sepoi angin berhembus dalam nafas samar. Gemuruh jiwa menyapa serenada pagi berbalut dingin. Seulas senyummu hadir, masih seperti sebelumnya. Gelak tawa membuat pagiku riuh dengan aroma cinta. Seperti biasa segelas cokelat hangat menjadi menu rutin yang tak pernah jemu kau hadiahkan.

“Selamat pagi, adik manis. Pagi yang indah, semalam bermimpi bertemu pangeran nggak ?”

Aku tertawa mendengar celotehmu yang selalu menggodaku. Sembari bersiap menyambut dhuha yang menjelang, suaramu masih memberiku energi baru.

“Hai, hari ini mau pakai tas warna apa ? Sepatu yang mana ? Motornya sudah aku panaskan. Mau sarapan disini atau dibawa ke kantor ?” runtutan pertanyaan itu hadir seiring wajahmu menyembul dibalik pintu kamar.

“Aku tak menjawabpun, kakak pasti tahu hari rabu ini aku mau pakai yang mana. Desainer pasti lebih tahu daripada modelnya, hehehe” gurauku balas menggodanya

Lalu kamipun tertawa dalam hangatnya cinta. Aku masih lanjut menyematkan jilbab warna merah yang dipilihkannya. Kulirik dia mengacungkan jempolnya. Jilbab dengan motif sembur ini adalah hadiah yang diberikannya ketika aku wisuda tanggal 03 November lalu dan hari ini adalah untuk pertamakali aku mengenakannya.

“Kak, kadonya cantik. Terima kasih ya”

Diapun memelukku dengan erat. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya ketika melewatkan pagi bersama.

“Terima kasih, Dik. Kakak bangga padamu”

Kulirik jam sudah menunjukkan angka 7. Praktis hari ini aku harus memacu laju lebih cepat dari biasa agar tak terlambat sampaidi kantor. Setelah mencium tangan ibu, aku bergegas mempercepat langkah.

“Kak, aku pergi ya”

“Hati-hati. SIM nya sudah belum ? Kalau di lampu merah jangan mengambil jalur yang di tengah. Kalau sampai di Telang, jangan ngebut. Disana jalannya berkelok dan rawan kecelakaan. Jangan sampai telat makan siangnya ya. Mulai sekarang jangan suka makan yang pedas-pedas lagi, sudah nggak ada yang menjaga kamu. Kamu harus bisa menjaga diri, jangan terlalu kecapekan”

“Bukannya ada kakak yang selalu menjagaku” sahutku diiringi tawa bersamanya

Dia mengantarku sampai di gerbang. Aku sama sekali tak merasakan firasat yang berbeda kala itu, walau sekali lagi dia tiba-tiba memelukku dengan hangat.

“Kak, nanti sore antar aku motret senja di Klobungan ya”

“Sekali-sekali pergi sendiri ya”

“Ah nggak. Biasanya juga bersama kakak”

“Nanti pulang cepat ya, Dik. Hari ini satu tahun kepergian ayah. Ada acara tahlilan di rumah”

“Okey, Bos”

***

Entah mengapa aku merasakan enggan untuk beranjak keluar kantor, walaupun schedule untuk memprospek beberapa nasabah sudah ada dalam agenda semalam. Ditambah lagi mendapat amanah untuk menggantikan pimpinan yang sedang rapat di kantor cabang, sehingga hari itu aku tak bisa survey ke lapangan.

Sebuah kabar menghentak seketika, ketika seseorang datang dengan tergopoh dan mengatakan “En, cepat pulang. Kakakmu pingsan”. Terhenyak seketika, dalam keadaan panik aku meminta izin untuk pulang. Melihat kakak terbaring tak sadarkan diri, ada rasa takut dalam diriku. Segera merujuk ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sayang, dua dokter disana angkat tangan lalu merujuk ke salah satu rumah sakit besar di Surabaya. Detik terasa lambat berjalan. Aku dan ibu tak henti melantunkan doa. Wajah pucat kakak membuat kami larut dalam kepanikan pikiran masing-masing.

“Tuhan, kumohon temani kami” lirihku berucap

UGD adalah ruang yang masih sangat seram untuk kami. Tindakan cepat pihak rumah sakit dengan menyematkan segala macam peralatan yang dijepitkan di tubuh kakak membuatku merinding. Aku tak ingin melihat ibu bersedih, maka kupersilahkan beliau untuk menanti di ruang tunggu. Dengan segala ketegaran yang tersisa, kuberanikan diri mendampingi kakak di ICU. Tubuhkupun merasakan sakit yang teramat ketika melihat satu persatu tim dokter melakukan tugasnya. Seorang dokter cantik menghampiriku.

“Adiknya ya ? Bisa tandatangan disini ? Kami harus melakukan CT Scan karena kesadarannya sangat menurun dan kritis”

Air mata tak kuasa mengalir. Luruh, lunglai sudah rasaku kala itu. Beberapa obat harus ditebus di apotik. Sambil berlari dalam keadaan bingung, kudengar ibu memanggil.

“Dik, gimana ? Kakakmu sudah sadar ?”

“Ummi, kakak baik-baik saja” jawab yang harus kuhadirkan untuk perempuan di hadapanku

Meski perasaanku tak bisa digambarkan saat itu, namun aku tak ingin Ibu menangkap kesedihan itu. Beliau tak boleh tahu apa yang terjadi, agar tak menambah beban fikirannya. Dengan tergopoh aku harus berlarian mengitari rumah sakit. Aku tak lagi peduli dengan semua orang yang memandangku. Sembari menunggu obat yang ternyata tetap saja harus melewati antrian panjang, air mataku terus mengalir. Segala kemungkinan buruk mungkin akan terjadi tapi aku berusaha untuk mengirimkan sinyal positif bahwa kakak pasti baik-baik saja. Ia akan sembuh seperti sedia kala. Bukankah malam nanti kami masih ada janji untuk bertemu di acara tahlilan ayah.

Tertunduk di sudut ICU, menunggu hasil CT Scan. Lantunan doa tiada henti kuadukan kepada Sang Maha Cinta. Merebahkan diri sebagai hamba yang sungguh tiada daya.

“Dik, hasil CT Scannya sudah keluar. Ada pendarahan di otak dan harus dilakukan tindakan operasi segera, saat ini juga”

“Mana yang harus saya tandatangani, Dok ?” tanpa fikir panjang lagi aku langsung meminta dokter untuk melakukan tindakan secepatnya untuk menyelamatkan nyawa kakak

Dokter masih memberiku kesempatan untuk melihat kakak sekali lagi di ruang ICU sembari mereka menyiapkan ruang operasi. Menatap tubuh kakak yang terbaring tanpa bergerak sedikitpun, hanya detak jantung yang bisa dipantau melalui alat ventilator yang disambungkan ke jantungnya sungguh pemandangan yang sangat miris dan membuatku tak berdaya.

“Kak, bangun kak. Bukankahkakak janji akan menemaniku memotret senja sore ini ? Aku sudah pulang, Kak. Kita akan hadir di acara tahlilan satu tahun kepergian ayah. Kak, bukankah kita pernah berjanji untuk menjaga Ummi bersama-sama. Melewatkan lagi pagi dan kehangatan malam di rumah penuh cinta yang pernah ayah ajarkan. Kak, jangan tinggalkan aku seperti ini”

“Maaf, Dik. Apa ada keluarga lain yang sudah datang ?” seorang dokter menyentuh pundakku

“Ada diluar, Dok”

“Tolong kumpulkan semua anggota keluarga ya”

Degupku tak menentu. Rasa penasaran menggelitik di sisa keberdayaan yang tertoreh. Menyaksikan semua tim dokter berkumpul, berbaris dengan seragam warna putihnya seolah menghentikan nadi kami kala itu.

“Setelah berdiskusi dan melihat hasil pemerikasaan dengan CT Scan, kami tim dokter mohon maaf yang sebesar-besarnya karena tindakan operasi tak bisa dilakukan. Pusat pembuluh darah yang di otak sudah pecah dan menggenangi seluruh otak. Kasus ini terlalu berat bahkan dari 1000 kasus yang ada, hanya 1 saja yang berhasil diselamatkan. Itupun tingkat kesembuhannya maksimal hanya bisa mengedipkan mata, sementara seluruh organ lainnya lumpuh total. Kami juga nggak bisa meramalkan tingkat keberhasilan operasinya. Sungguh, setelah mengkaji kasus ini sangat berat dan kami angkat tangan, maaf. Kalau dari sisi medis, pasien hanya menunggu waktu saja”

Detik berhenti seketika, tubuhku lemas. ICU menjadi lautan air mata seketika, rasa tak terima menjadi kesakitan teramat dalam. Perih rasa itu, lara mencabik jiwa kami. Andai jemari ini teriris sekalipun, sakitnya sudah tak terasa.

“Saya mau rujukan ke rumah sakit lainnya, Dok” kalimat itu terucap diantara air mata yang tak mau berhenti mengalir

“Boleh. Kami langsung sambungkan dengan tim dokter disana. Nanti adik bawa saja hasil tes yang disini, bisa dikonsultasikan dengan mereka untuk tindakan selanjutnya”

“Dik” Ibu memelukku dalam isaknya yang berat

“Ummi, aku akan berusaha sampai titik terakhir. Aku harus memperjuangkan kakak, Tuhan Maha Kuasa. Dokter hanya manusia, Tuhan saja yang tahu ujung usia hambaNya. Ummi tenang ya, kita berdoa”

Mendatangi 2 rumah sakit besar lainnya dengan membawa hasil CT Scan. Hatiku lara, sungguh sangat lara ketika mendengar semua dokter mengatakan hal yang sama. Tuhan, kumohon keajaibanMu.

“Kami sarankan pasien dibawa pulang saja, Dik.Disini kami tak bisa melakukan tindakan apapun. Kamu juga nggak bisa menemani kakak di dalam. Hanya bisa melihatnya melalui kaca. Kalau di rumah, setidaknya di saat-saat terakhirnya kamu masih berkesempatan untuk menuntunnya kalimat-kalimat Ilahi”

Aku marah pada mereka. Vonis usia kakak yang tak akan lama lagi membuatku berontak. Bagiku, Tuhan Maha Kuasa. Dia bisa merubah setiap kenyataan seperti yang dimau. Keajaiban itu milikNya. Akhirnya kesepakatan keluarga besar lainnya dengan saran dari pihak rumah sakit, kakakpun pulang. Seperti janjinya pagi tadi, malam ini kami akan bertemu di acara tahlilan satu tahun kepergian ayah. Sayang, itu semua tak pernah terjadi. Kakak koma hingga ujung usianya. Handai tolan, para sahabat serta tetangga yang berdatangan dan menunggu kami di rumah adalah saksi nyata betapa sangat banyak yang mencintainya. Kakak adalah pelita, cahaya yang menyinari sekitarnya. Kemanfaatan dan sikap berbaginya pada sesama telah menjadi pelajaran indah yang ia tinggalkan untukku.



Bkl, 08 November 2012

“Kak, apa kabar ? Pagi ini, embun masih hangat. Sepertiga malam ini tak lengkap sebab kita tak bertemu di tempat biasa. Aku tak lagi mendengar isakmu saat berdoa pada Sang Maha Cinta. Aku tak mendengar suara merdumu saat melantunku bait-bait cintaNya sembari menunggu adzan shubuh. Kak, tasbih ini juga merindukanmu. Ia yang tak pernah beku sebab kau memberinya energi dalam setiap kalimat takbir, tasbih dan tahmid yang tak pernah lekang di tiap lafaz. Sajadah ini juga merindu air matamu yang selalu jatuh saat keningmu tunduk di kehambaanNya. Dan aku, sangat merindukanmu”

Kalimat itu kuucapkan setelah melantunkan ayat-ayat cintaNya di sisi pembaringan. Aku dan Ibu terus terjaga, menemani kakak dalam komanya.

“Dik” sapa Ibu mengejutkanku

Aku mengikuti arah yang ditunjuk ibu. Air mata Kakak mengalir dari kedua mata beningnya. Kuusap pelan. Dalam komanya dia masih bisa mendengar apa yang aku dan Ibu ucapkan. Hatiku kian tak menentu. Aku rapuh, air mata yang sedari semalam coba tertahan akhirnya pecah juga. Begitu pula dengan Ibu.

10.45 … Kakak masih koma. Kondisinya kian menurun. Beberapa saudara, tetangga dan sahabat yang mendampinginya dalam lantunan ayat-ayat Al Quran mendekatiku.

“Dik, bisikkan di telinganya kalimat-kalimat Allah. Katakan padanya kalian ikhlas”

Tangisku kian tak terbendung. Aku tak sanggup, sungguh tak bisa.

“Dia sangat menyayangimu, jangan kamu beratkan kepergiannya. Ayolah bisikkan di telinganya, ijinkan kakakmu pergi”

Lemah, sungguh aku tak berdaya.

“Allah … Allah … Allah. Kak, jika Tuhan telah memanggilmu, pergilah. Bawalah iman dan islam menghadapNya. Aku dan Ummi ikhlas, Kak. Kakak tak usah merasa berat meninggalkan aku dan Ummi. Akuakan menjaga Ummi, Kak. Aku bersaksi padaNya, kakak telah menjadi kakak paling hebat untukku. Telah menjadi anak yang berbakti pada Ayah dan Ummi. Mereka semua telah menjadi saksi, Kak. Allah … Allah … Allah”

Dalam tiga tarikan nafas, denyut itu berhenti. Aku bukanlah perempuan tegar yang sangat kuat. Aku hanyalah seorang adik yang merasakan separuh jiwa pergi. Semua tak sama,tak pernah sama.

Bayangan kakak dengan nasihat-nasihatnya membuatku tunduk. Masih jelas dalam ingatan, beberapa malam sebelumnya ketika aku memilih merebahkan badan karena lelah setelah seharian beraktivitas dan baru pulang ke rumah jam 8 malam.

“Dik, kok nggak ngaji malam ini ?”

“Nanti sehabis tahajud saja, Kak. Badanku lelah sangat, ingin rebahan”

Dia memberiku selimut sambil berujar lirih.

“Selelah apapun, harus disempatkan Dik. Kita nggak pernah tahu bukan apakah Allah masih memberi kita umur hingga sepertiga malam nanti. Kematian itu sangat dekat dengan siapa saja, datangnya bisa tiba-tiba. Jika waktu sudah memanggil maka kita tak punya kesempatan lagi. Jadi selagi ada waktu, jangan pernah siakan untuk terus menabung bagi akhirat kelak. itu kan yang selalu ayah ajarkan dulu ? Ingat nggak ?”

Kak, semuanya menjadi nyata kini. Kematian sungguh sangat dekat bagi setiap jiwa. Bahkan dalam hitungan detik saja, Tuhan memanggilmu. Air mata yang mengalir dari para pelayat yang datang berbelasungkawa, kesaksian perbincangan mereka yang sayup kudengar bahkan anak-anak kecil yang bergerombol menghafalkan tata cara sholat jenazah lalu meminta izin untuk mensholatimu, sungguh memberi makna betapa berartinya dirimu. Ratusan pelayat dan orang-orang yang hadir di setiap malam membacakan doa tahlil bagimu, bahkan banyak dari mereka yang aku belum mengenalnya. Nyaris 300 orang memenuhi rumah ini setiap malam, mengumandangkan doa bagimu.

Tepat satu tahun kepergian ayah, kau menyusulnya Kak. Kau tahu, rumah ini sepi. Kini kursi makan ini telah kosong 2. Hanya aku dan Ibu yang tiap malam memenuhinya. Ujian ini bukan hal mudah tapi kami percaya Tuhan Maha Sempurna dengan segala rencanaNya.

Detak berhenti

Sayup menjebak mimpi

Lara menghuni ruang hati

Menderas perih yang tergores sepi

Selamat jalan, Kakak

Doa terlantun tanpa henti

Segenap pinta bagi keabadianmu kini

Tuhan memelukmu dengan segala cintaNya

Bkl, 10 November 2012

Kak,

Selamat ulang tahun

Semoga kamu bahagia di rumah baru penuh cinta

Kak,

Para sahabat masih mengirimu kado. Mungkin mereka sama sepertiku, telah membungkus kado ini jauh hari sebelum kepergianmu. Ada banyak ucapan penuh kasih dan sayang tulus untukmu. Ada banyak doa di surat-surat yang mereka sematkan ini.

Kakak,

Kado-kado ini akan tetap ada disini. Tapi kami akan mengirimkan kado yang jauh lebih indah. Untaian doa tiada henti, semoga Tuhan memelukmu dengan segenap cinta. Salam rindu yang tak pernah jemu kami kirimkan kepadaNya.

Kakak,

Terima kasih sudah menjadikanku adik yang paling beruntung karena dititipkan Tuhan seorang kakak sebaik dan sehebat dirimu. Tanpamu dan ayah, senja tak lagi sama,. Tapi seperti pesanmu, bahwa setiap jiwa akan berterima kasih kepada setiap peristiwa jika memahami betapa Tuhan sedang mengajarimu tentang hal luar biasa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline