Lihat ke Halaman Asli

Ketika Hidup Menawarkan Keikhlasan

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika Hidup Menawarkan Keikhlasan

Berbahagialah ketika hidup memberimu kesempatan untuk menikmati peran. Memberikan apresiasi atas talenta yang Tuhan anugerahkan dengan segala kebaikanNya. Mengecap syukur dalam jiwa tanpa pernah melupakan Sang Pemberi. Perlahan detik mendekap jiwa lalu menyeret raga dalam setumpuk rutinitas yang menyita waktu. Tak ayal dua puluh empat jam seolah masih harus berbenah dengan memintal kembali waktu-waktu berikutnya.

Menjalani tiga dunia yang berbeda bukan hal mudah. Sebagai karyawan di sebuah BUMN, ada rutinitas yang harus dijalani dengan pencapaian-pencapaian tertentu. Sementara di satu sisi sebuah kesenangan telah memberi ruang istimewa untuk mengembangkan kesenangan bernama bakat. Menulis menjadi dunia baru yang belum genap dua tahun kujalani. Rasa berbeda menjadi ramuan tersendiri yang membuat hidup ini kian lengkap. Lambat laun menulis tak lagi menjadi sebuah sisa waktu tetapi telah lekat dalam jiwa. Sebuah sentuhan baru hadir di awal tahun 2011. Belajar, kembali ke bangku kuliah untuk menuntut ilmu. Praktis tiga dunia ini harus aku jalani. Pressure yang berbeda memberikan sensasi yang berbeda pula. Indah saja, menikmati peran dengan sebaik mungkin.

Schedule telah terangkai demikian cermat. Waktu telah ditetapkan sesuai impian yang hendak diraih. Menapak satu persatu jalan dengan hasil yang tergambar di depan mata. Tiga dunia ini sempurna berarak tanpa saling mendahului atau tertinggal di belakang. Semua baik-baik saja, setidaknya aku masih berfikir begitu. Sayang, manusia hanyalah perencana. Hidup menjadi berubah ketika apa yang diangankan harustunduk pada kenyataan yang tak diinginkan.

September adalah sebuah kepasrahan. Ketika email dari salah satu penerbit memberiku kesempatan sebagai salah satu dari sedikit naskah yang lolos dan berkesempatan untuk bertemu penerbit namun pada hari yang sama sebuah surat memberiku mandat sebagai salah satu karyawan yang harus berangkat pendidikan selama satu bulan. Usaha masih sempat dilakukan untuk meminta jeda agar tak ada satupun yang dikorbankan. Nihil, semua tak bisa dicancell. Ada kecewa juga amarah dalam diri yang sejenak bergerak demikian hebat. Ditambah lagi berita dari kampus bahwa proposal penelitian sudah harus masuk dan dalam waktu satu minggu kedepan sudah harus maju untuk ujian proposal. Rasanya dunia sungguh tak bersahabat. Aku berada pada titik terlemah dimana kegagalan begitu nyata tergambar di depan mata. Schedule yang dibuat dengan sangat rapi harus berantakan. Rapuh, kecewa dan kesal beradu jadi satu.

“Apa sudah pasti kalau semuanya gagal ? Kenapa tak coba dijalani satu persatu. Aku tak akan menyuruhmu memilih karena hidup bukan cuma tentang pilhan seperti yang selalu mereka katakan. Hidup itu adalah tentang prioritas. Tak perlu kamu melepaskan pekerjaan, apalagi menghempaskan talenta yang tak semua orang diberi anugerah itu. Lalu tesis ? Bukan jalan keluar untuk mengabaikannya. Kamu hanya perlu mengikhlaskan saja apa yang terjadi saat ini. Jalani saja pendidikan itu dengan konsentrasi penuh agar perusahaan tak kecewa padamu dan kamu dapat menyerap ilmu selama disana dengan sebaik mungkin. Lalu urusan novel dan tesismu, semua sudah ada waktunya yang tepat. Novelmu akan berjodoh dengan penerbitnya dan tesismu akan bertemu dengan waktu terbaiknya. Kamu hanya perlu IKHLAS”

Logikaku menerima nasihat tersebut, hanya saja sebentuk keangkuhan sebagai manusia sedikit menyelinap. Tak ingin melepaskan satu dari ketiga dunia itu. Waktu terus saja mengiba untuk menyadarkan kalbu bahwa manusia itu hanya butuh keikhlasan. Melepas ataupun menerima kenyataan, semuanya butuh keikhlasan. Hingga dalam sebuah pencarian di sepertiga malam, kutemukan jawab. Menjalani apa yang ada dengan ikhlas dan tak lagi bertanya atau menerka. Membiar segalanya mengalir dalam apa yang diinginkan Tuhan saja.

Tuhan selalu punya cara yang indah untuk membuat kita tersenyum. Selepas dari diklat yang ditugaskan oleh perusahaan, sebuah email menyapa. Isinya tentang kesempatan kedua untuk bertemu dengan penerbit. Dengan beberapa alasan, mereka memberiku kesempatan setelah aku mengikhlaskan tak bisa hadir di kesempatan pertama. Rabb, sungguh surprise yang indah. Kejutan indah itu kembali berulang tatkala akupun berkesempatan untuk mengikuti ujian proposal bersama beberapa kawan. Kabar bahwa wisuda ditunda menjadi tanggal 3 November adalah awal baru bagiku. Aku masih punya kesempatan untuk mengejar ketertinggalan hingga akhirnya tanggal 16 Oktober 2012, Tuhan memberiku kesempatan untuk ujian tesis bersama teman-teman lainnya. Alhamdulillah, bahagia menyempurna dengan predikat lulus dan nilai yang kuharapkan.

Selalu ada alasan untuk kita tetap tersenyum pada segala kenyataan dalam hidup. Segala sesuatu punya cerita. Yakini saja jika air mata yang ada adalah cara indahNya untuk membuat kita mengerti arti senyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline