Lihat ke Halaman Asli

Endang Sriani

Lecture at IAIN Salatiga

Siapa Bilang Rupiah Itu Haram?

Diperbarui: 2 Juli 2015   00:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Berbincang tentang uang tentulah sangat menyenangkan, meskipun uang bukan segala-galanya namun kenyataanya segala-galanya butuh uang. Menurut Dr. Sahir Hasan dalam buku Mata Uang Islam karya Dr. Ahmad Hasan, Uang adalah pengganti materi terhadap segala aktivitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya beli untuk memenuhi kebutuhannya, juga dari segi peraturan perundangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajibannya. 

Uang atau alat tukar menurut syari’at Islam haruslah berbentuk ayn (komoditas), tidak dapat berbentuk dayn (secarik kertas bukti uang). Nilai suatu alat tukar harus ada pada zatnya dan nilai intrinsiknya, itu berarti yang memenuhi kriteria uang tersebut adalah Emas dan Perak. Namun Menurut madzhab Hanafi, Fulus (termasuk jenis uang lainnya) telah menjadi nilai harga menurut istilah dan al-„urf, sehingga hukumnya dapat disamakan dengan Dinar dan Dirham sebagai sarana dalam tukar menukar. Satu pemikiran telah menggeser anggapan uang hanyalah emas dan perak.

Melihat pada histori perekonomian dunia, mata uang kertas memang belum ada di masa para pakar hukum Islam zaman dahulu. Oleh sebab itu, tidak ditemukan dalam buku-buku yang mereka karang hukum transaksi dengan mata uang kertas secara jelas. Namun demikian, bukan berarti hukum Islam tersebut tidak dapat digali dari buku-buku tersebut. Sebab Islam adalah agama Allah, penutup seluruh agama yang akan selalu relevan pada setiap masa dan tempat, karenanya ia hadir dengan dalil-dalil elastis yang selalu dapat memecahkan persoalan baru.

Seperti halnya dalam al-qur’an maupun riwayat sekalipun, semua dalil yang berhubungan dengan penggunaan Dinar maupun Dirham sebagai alat transaksi, semua yang berkaitan dengan kegiatan muamalah maupun ibadah seperti jual beli, tentag nishab zakat, diyat, dan lain-lain keseluruhan menggunakan mata uang yang terbuat dari Emas dan Perak (Dinar dan Dirham).

Namun dari beberapa ayat tidak ada salah satu pun yang memerintah umat Islam untuk menggunakan mata uang tersebut, apa lagi mewajibkan seperti halnya ayat atau riwayat yang memerintah umat Islam untuk menunaikan shalat ataupun kewajiban-kewajiban lainnya. Ayat dan riwayat tersebut hanya bersifat Khabariyah atau berita saja, bahwasannya pada masa itu sudah ada mata uang yang dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari.

Masalah uang adalan wilayah pembahasan fiqh muamalah di mana tradisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat memainkan peranan besar. Dari sini, ketika Islam datang mata uang yang digunakan adalah emas dan perak, tidak lain karena mata uang itu yang dipakai dan menjadi kebiasaan. Sekarang ketika kebiasaan itu telah berubah maka mata uang itu juga berubah.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (1263-1328) juga berpendapat bahwa uang sebagai alat tukar bahannya dapat diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang berlaku (‘urf) dan istilah yang dibuat oleh manusia. Ia tidak harus terbatas dari emas dan perak. Misalnya istilah Dinar dan Dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau syar’ii. Dinar dan Dirham tidak diperlukan untuk dirinya sendiri melainkan sebagai wasilah (medium of exchange). Fungsi medium of exchange ini tidak berhubungan dengan tujuan apa pun, tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya juga tidak berhubungan dengan gambar cetakannya, namun dengan fungsi ini tujuan dari keperluan manusia dapat dipenuhi.

Uang diciptakan dalam perekonomian dengan tujuan untuk melancarkan kegiatan tukar menukar dan perdagangan. Maka uang selalu didefinisikan sebagai benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantaraan untuk mengadakan tukar menukar atau perdagangan. kata ”disetujui” dalam definisi ini adalah terdapat kesepakatan antara anggota-anggota masyarakat untuk menggunakan satu atau beberapa benda sebagai alat perantaraan dalam kegiatan tukar menukar. Emas dan perak merupakan dua benda yang disepakati pada masa lalu, oleh sebab itu benda tersebut telah menjadi alat perantaraan dalam kegiatan perdagangan di berbagai negara di dunia ini sejak berabad-abad yang lalu.

Kemajuan ekonomi dunia yang bertambah pesat sejak berlakunya Revolusi Industri pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di Negara-negara maju menyebabkan perdagangan berkembang dengan sangat pesat. Transaksi-transaksi yang dijalankan telah menjadi berkali lipat nilainya. Uang emas dan perak tidak dapat ditambah secepat seperti perkembangan perdagangan yang telah berlaku tersebut. Sebagai akibatnya bertambah lama bertambah banyak negara menggantikan uang emas dan perak dengan uang kertas sebagai alat untuk tukar menukar dan itu berlangsung sampai saat ini.

Dalam kenyataanya, produksi barang dan komoditas semakin meningkat dan orang-orang semakin membutuhkan jumlah uang yang banyak untuk mengikuti perkembangan ini dan emas karena tidak efisien, tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu sehingga orang-orang mulai merasakan kekurangan sistem uang emas.

Sejalan dengan hal itu, Al Baladzariyyi mengatakan: “Sesungguhnya Umar ibn Khattab r.a. pernah berkata: “saat aku ingin menjadikan uang dari kulit unta, ada orang yang berkata: kalau begitu unta akan punah. Maka aku batalkan keinginan tersebut”. Dari pernyataan Umar tersebut, ia membatalkan pembuatan uang dari kulit unta karena takut unta akan punah, padahal unta merupakan makhluk yang berkembang biak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline