Lihat ke Halaman Asli

Menyusuri Jejak Selsa

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13746667931575714317

Begitulah. Membaca buku mungil berisi 41 puisi karya Selsa ini ibarat menyusuri tapak kakinya yang merambah hingga ke Palestina dan negara bagian Rakhine, Burma, tempat bermukimnya etnis Rohingya, dan tentu lembah-ngarai di antara Gunung Sumbing dan Sindoro. Yang bisa saya ingat, saya mengenal Selsa melalui Kompasiana dan berlanjut ke Facebook. Perempuan yang dilahirkan di bulan Oktober ini kerap menulis status puitis. Ia juga sesekali memberi komentar pada status saya dan tautan-tautan yang saya pampang di timeline. Dari sana interaksi kami berawal. Sejak Mei 2010 hingga tulisan ini saya buat, warga Temanggung ini telah mengunggah 571 tulisan di Kompasiana dan 365 buah di antaranya berupa puisi. Luar biasa. Ini bukti bahwa Selsa serius berpuisi. Antologi berjudul Empat Puluh Dua Jejak yang diterbitkan oleh Indie Publishing ini merupakan buku puisi pertamanya. Empat belas puisinya di bagian depan (salah satunya, Kiamat Rohingya, tidak tercantum dalam daftar isi) menyoal ketidakadilan, penindasan pemimpin pada rakyatnya, dan kekecewaan anak manusia atas berbagai kekejian di muka bumi. Selsa tampaknya geram pada sikap para penguasa (negeri ini) yang sebagian besar hanya mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya. Salah satu puisinya juga mengingatkan saya akan Pancasila. Sungguh, saya sudah lupa pada dasar negara kita yang pernah jadi semacam 'jimat' itu. Pilihan katanya sederhana dan susunan katanya menyerupai kalimat dalam prosa, membuat puisi-puisinya - yang menyuarakan kemarahan, perlawanan, dan rasa frustrasi - jadi semacam jeritan yang dibekap. Bila susunannya dipadatkan, tanpa mengubah pilihan kata, menurut saya pesan atau protes yang hendak ia sampaikan bisa lebih lugas. Contohnya berikut ini: Penggalan puisi berjudul Tangisan Ibu Pertiwi

Semalam tadi

Aku mendengar sayat pedihmu

Mengiba di sudut kelam

Menurut saya akan lebih jleb bila ditulis begini:

Semalam

Kudengar sayat pedihmu

Mengiba di sudut kelam

Contoh lain lagi: Penggalan puisi berjudul Lakon Negeri Gonjang Ganjing

Pentas teaterkah yang kini di hadapanku ini

Atau nyata yang terbungkus dusta

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline